Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh)
Diajukan
untuk Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah
OleH:
Faishol
huda (B74210076)
Drs.
Bambangg subandi, MM
JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua
khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti
bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka
dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah
fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari
kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui
benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu
dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu
dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan.
Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial,
ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap
problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
II.
Rumusan Masalah
1.
Mengerti
dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan kaidah-kaidah fiqh
2.
Menyebutkan
pembagian kaidah fiqh
3.
Apakah
manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh?
4.
Bagaimana
kedudukan dan sistematika kaidah fiqh?
5.
Apa
beda kaidah ushul dan kaidah fiqh?
6.
Mengetahui
apa itu kaidah umum dan kaidah asasi
III.
Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami
dan mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai
dari definisi, pembagian dan sistematika kaidah fiqh.
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
Pengertian
Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang
kaidah-kaidah fiqh diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali
dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat
dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian
dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau
patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar
atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan
al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
An-Nahl ayat 26 :
”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari
fondasinya”.
(Q.S.
An-Nahl : 26)
Sedangkan dalam tinjauan terminology
kaidah punya beberapa
arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh
satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan
mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum yang biasa
berlaku yang bersesuaian
dengan sebagian besar bagiannya”.
Sedangkan
arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak
dipahami, yaitu :
”Untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
(Q.S.
At-Taubat : 122)
Dan
juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya
diberikan kepadanya kepahaman dalam agama.
Sedangkan
menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang
tafsili (terperinci)
Jadi,
dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada
semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui
hukum-hukum cabang itu”.
Dari
pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur
beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.
II. Sejarah Perkembangan Qawaidul
Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan
menjadi 3 fase, yaitu :
1.
Fase
pertumbuhan dan pembentuka
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung
selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini
dari segi pase sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi
muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H),
dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun
(724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman
kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab
terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab
jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan,
kaidah fiqh baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan
adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya
sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits
yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena
itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau
dari dua segi, yaitu :
·
Segi
sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang
tidak mengandung al-Mustasnayat
·
Segi
cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena
kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai
kaidah fiqh, yaitu :
”pajak itu disertai imbalan jaminan”
”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh
dipersulitkan (oleh orang lain)”
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap
sebagai kaidah fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat
berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para
sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah
murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan
terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama
250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in
adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal
kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris
diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka
Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta
peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki
ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam
Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H),
salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah
tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241
H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk
dihibahkan dan digadaikan”
2.
Fase
perkembangan dan kodifikasi
Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman
taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih
(penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi
kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi
perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam
kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu
pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
·
Al-Asybah
wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
·
Kitab
al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
·
Al-Majmu’
al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)
·
Al-Qawaid
fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
3.
Fase
kematangan dan penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh,
meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh
pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H
adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain,
kecuali ada izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih
menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain
tanpa izin”
III.
Pembagian Kaidah Fiqh
Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :
- Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu sentral dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah
tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai
al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
kaidah
ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang
telah ditentukan sebagai syarat”
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti
ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah
kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak
dihadapkan dengan furu’
- Segi mustasnayat
Dari
sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah
yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.
Kaidah
fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya
adalah :
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan
kepada tergugat”
Kaidah
fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong
pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
- Segi kualitas
Dari
segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
·
Kaidah
kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh
pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan
kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan
sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
·
Kaidah
asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh
seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
·
Kaidah
fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
adalah ” majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX
M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.
IV.
Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
1.
Dengan
kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan
mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu
dari masalah-masalah fiqh
2.
Dengan
memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi
3.
Dengan
kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan
tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4.
Meskipun
kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada
dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan
al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
1.
Mempermudah
dalam menguasai materi hokum
2.
kaidah
membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
3.
Mendidik
orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk
memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4.
mempermudah
orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan
mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
5.
Meringkas
persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum dibentuk untuk
menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih
besar
6.
Pengetahuan
tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami
furu’ yang bermacam-macam
V.
Urgensi Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1.
Dari
sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan
menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh,
ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
2.
Dari
segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang
sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai
salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada
ketentuan atau kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam
ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hokum
terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi
dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan
prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak
terbatas suatu cabang undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu
adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai
klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang
pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam
mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah
yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam
menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk
mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi
kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis
bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah
fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya
banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada
kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh
pengikutnya.
VI.
Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :
- Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
- Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.
Namun al_Hawani menolak pendapat Imam
al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya, menurut al-Hawani, berdalil
hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa
setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat.
Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena
memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian
tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri
merupakan jalan keluar yang lebih bijak.
Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul
sederhana dari masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad
ibnu al-Syaikh Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau
saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang bersifat furu’iyyat akan
tetap bercerai berai.”
Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa
syar’ah mencakup dua hal :
pertama,
ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian,
yaitu ushul al-Fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang
bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqhyang di dalamnya terdapat pembahasan
mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari furu’ yang
jumlahnya tidak terbatas.
VII.
Sistematika Qawaidul Fiqhiyah
Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan
pembagian kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah
asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa
diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada 5 macam, yaitu :
1.
Segala
macam tindakan tergantung pada tujuannya
2.
Kemudaratan
itu harus dihilangkan
3.
Kebiasaan
itu dapat menjadi hukum
4.
Yakin
itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
5.
Kesulitan
itu dapat menarik kemudahan.
Sebagian fuqaha’ menambah dengan kaidah “tiada pahala
kecuali dengan niat.” Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang
merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, walaupun keabsahannya masih tetap
diakui.
VIII.
Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh
1.
Kaidah
ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh
adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang
sama.
2.
Kaidah-kaidah
ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah
furu’.
3.
Kaidah-kaidah
ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil
yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut.
Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.
IX.
Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi
- Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan
bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak mafsadat
atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada
kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu
diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.
- Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)
Kelima
kaidah asasi tersebut sebagai berikut :
“segala perkara tergantung kepada niatnya”
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna
perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat
ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah
dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.
2.
Kaidah
asasi kedua
“keyakinan tisak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”
3.
Kaidah
asasi ketiga
“kesulitan mendatangkan kemudahan”
Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka
syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa
kesulitan dan kesukaran.
4.
Kaidah
asasi keempat
“kemudhoratan harus dihilangkan”
Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid
al-Syari’ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan
kemudhoratan atau setidak-tidaknya meringankannya.
5.
Kaidah
asasi kelima
“adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”
Adat yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal yang
penting, yaitu : di dalam adapt ada unsure berulang-ulang dilakukan, yang
dikenal sebagai sesuatu yang baik.
X.
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun
disini kami hanya menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
1.
“ijthat
yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”
Hail ini berdasarkan perkataan Umar bin Khattab :
“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah
yang kami putuskan sekarang”
2.
“apa
yang haram diambil haram pula diberikannya”
Atas dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil
korupsi atau hasil suap. Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong
dalam dosa.
1.
“Apa
yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
2.
“Petunjuk
sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai dalil”
Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui
oleh umum, akan tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari
kaidah ini, seperti : Barang yang dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya
bisa jadi petunjuk bahwa si B adalah pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan
bahwa barang tersebut bukan hasil curian.
3.
“Barang
siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak
mendapat sesuatu tersebut”
Contah dari kaidah diatas: Kita mempercepat berbuka pada
saat kita puasa sebelum maghrib tiba.
XI.
Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus
Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih
sempit dan isi kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku
dalam cabang fioqh tertentu, yaitu :
1.
Kaidah
fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah
“Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak
sah pula digunakan shalat fardhu”
2.
Kaidah
fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah
Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi : pernikahan,
waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan keluarga. Salah
satu dari kaidah ini, yaitu
“Hukum asal pada masalah seks adalah haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya
haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang
menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.
3.
Kaidah
fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan
transaksi, pada dasarnya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama.
Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan,
penipuan, judi dan riba.
4.
Kaidah
fiqh yang khusus di bidang jinayah
Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan
berbagai kejahatan dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan
perbuatannya. Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah :
“Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa
dibenarkan syari’ah”
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah
adalah pencurian atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika
dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat
dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib
mengeluarkan zakat.
5.
Kaidah
fiqh yang khusus di bidang siyasah
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung
kepada kemaslahatan”
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus
beorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya
atau keluarganya maupun golongannya.
6.
Kaidah
fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)
Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik
dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari
daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah
fiqh dalam bidang ini yaitu :
“Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan
diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal.
BAB
III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
- Kaidah-kaidah fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya (bagian-bagiannya)
- Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalahfiqh.
- Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
- Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
- Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
II.
Saran
Penyusun
makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku
referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin
mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini,
membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca
makalah ini saja.
DAFTAR
PUSTAKA
Djazuli,
HA, 2006, Kaidah-kaidah fiqh, Jakarta : kencana
Mujib,
Abdul, 1978, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Ampel
Usman,
Muslih, 1999, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : Rajawali
Pers
Effendi,
Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana
Mubarok,
Jaih, 2002, Kaidah Fioqh, Jakarta : Rajawali Pers
Djazuli,
HA, 2005, Ilmu Fiqh, Jakarta : Kencana
Asjmuni,
A Rahman, 1976, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang
Ash-shiddiqie,
Hasbi, 1999, Mabahits fi al-Qawaidul Fiqhiyah.
Al-Nadwi,
Ali Ahmad, 1998, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Beirut : Dar al-Kalam
Faisal,
Enceng Arif, 2004, Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung : Pustaka Bani Quraisy
gak sido di kumpulkan
BalasHapus