PERINTAH MENYAMPAIKAN
DAKWAH WALAU SATU AYAT
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“ HADIS 1 ”
DI
SUSUN OLEH :
KELOMPOK: 1
KELAS: D2
FAISOL HUDA B74210076
IRFAN ANSORI B74210075
ADITIA B74210070
Dosen
Pembimbing
Drs. ABDUL
MUJEB
FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN MENEJEMEN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010
KATA PENGANTAR
ASSALAMUALAIKUM WARAHMATULLOHI
WABAROKATUH
Puji syukur alhamdulillah kehadirot Alloh SWT . yang telah memberikan
kekuatan dan kemampuan pada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan
judul
“PERINTAH MENYAMPAIKAN WALAU
SATU AYAT” makalah ini berisi tentang
“ Teks
hadis menyampaikan dakwah walau satu ayat, Perawai
hadits menyampaikan dakwah walau satu ayat Dan poin kandungan menyampaikan dakwah walau satu ayat “.
Ucapan terimakasih kepada Bapak Drs. H ABDL MUJEB ADNAN.MAg
selaku dosen pembimbing.
kami
sebagai manusia biasa yang tak luput
dari kekhilafan, saya mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam pembuatan makalah ini.
Saran dan kritik dari pembaca yang
bersifat membangun sangat kami harapkan agar dalam pembuatan makalah berikutnya
dapat lebih baik lagi.
Akhirnya semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi saya khususnya bagi pembaca pada umumnya.Amin.
Wassalamualaikum warahmatullohi wabarokatuh.
Surabaya, 1 April 2011
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Dakwah adalah satu kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita.
Dari sudut bahasa, dakwah artinya mengajak atau menyeru. Adapun istilah dakwah
yang biasa kita gunakan memiliki pengertian yang lebih khusus: mengajak dan
menyeru manusia ke jalan Allah (da’watun naas ilallah). Ini artinya sangat
luas, yakni mengajak dari kekafiran kepada keimanan, dari syirik kepada tauhid,
dari kesesatan kepada petunjuk, dari kebodohan kepada ilmu, dari kehidupan
jahiliyah kepada kehidupan islami, dari kemaksiatan kepada ketaatan, dari
bid’ah kepada sunnah, dari keburukan kepada kebaikan.
Dari pengertian
dakwah yang seperti ini, sebetulnya dakwah itu sangat luas. Dakwah tidak hanya
terbatas pada ceramah agama dan tabligh akbar. Segala usaha dan upaya yang kita
lakukan untuk mencapai dakwah walau satu ayat sebagaimana tersebut diatas
adalah dakwah. Karena itu, dakwah sebetulnya bisa dilakukan dengan berbagai
macam cara, mulai dari yang paling sederhana seperti memberi nasihat kepada
teman kita, memberikan sedikit ilmu yang kita ketahui kepada orang lain, atau
memberikan keteladanan yang baik.
Nah, dengan
pemahaman seperti ini, sebetulnya semua orang bisa menyampaikan dakwah walau
satu ayat. Dakwah bukan monopoli para ustadz atau para kyai. Siapapun bisa
berdakwah, tentu saja sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya masing-masing.
Inilah makna dari sabda Rasulullah saw: Ballighuu ‘annii walau aayat ‘Sampaikan
dariku meski hanya satu ayat.’ Ini artinya, jika engkau tahu satu ayat,
sampaikan satu ayat. Jika engkau tahu dua ayat, sampaikan dua ayat. Demikian
seterusnya. Jangan sampai kita tahu satu ayat – apalagi lebih – tetapi kita
diam saja atau bahkan menyembunyikannya.
B. Rumusan masalah.
1. Bagaimana bentuk teks hadis menyampaikan dakwah walau satu
ayat.?
2. Siapa perawai hadits menyampaikan dakwah walau satu ayat…………?
3. Seperti apa poin kandungan menyampaikan dakwah walau satu ayat…?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Tex
hadis
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu
ayat” [1]
فليبلغَ ا لثّا هد منكم ا لغا ئب
"Maka Sampaikanlah Kesaksian Kamu/I yang tedak Di Ketahui Mata"
fdsfsfsfsfgfgfdgfdggfgrrfgfgfgrhgtytyyyyiukgfhjfjhfjhfnjhvjhfj
2.
Seputar
perawi hadits :
Hadits ini
diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash bin Wa’il bin Hasyim
bin Su’aid bin Sa’ad bin Sahm As Sahmiy. Nama kunyah beliau Abu Muhammad, atau
Abu Abdirrahman menurut pendapat lain. Beliau adalah salah satu diantara Al
‘Abaadilah (para shahabat yang bernama Abdullah, seperti ‘Abdullah Ibn
Umar, ‘Abdullah ibn Abbas, dan sebagainya –pent) yang pertama kali memeluk
Islam, dan seorang di antara fuqaha’ dari kalangan shahabat. Beliau meninggal
pada bulan Dzulhijjah pada peperangan Al Harrah, atau menurut pendapat yang
lebih kuat, beliau meninggal di Tha’if.[2]
3.
Poin
kandungan hadits :
a. Pertama:
Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari
beliau, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan agama ini
sebagai satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang artinya), “Pada hari
ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku
dan telah aku ridhai Islam sebagai agama bagimu”.[3]
Tentang sabda beliau, “Sampaikan
dariku walau hanya satu ayat”, “Hal ini agar setiap orang yang
mendengar suatu perkara dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit.[4]
Tujuannya agar nukilan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat
segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.” Hal ini sebagaimana sabda
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah yang hadir
menyampaikan pada yang tidak hadir”. Bentuk perintah dalam hadits ini
menunjukkan hukum fardhu kifayah.[5]
b. Kedua:
Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam terbagi dalam dua bentuk :
4.
Menyampaikan
dalil dari Al Qur’an atau sebagiannya dan dari As Sunnah, baik sunnah yang
berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (amaliyah), maupun
persetujuan (taqririyah), dan segala hal yang terkait dengan sifat dan
akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cara penyampaian
seperti ini membutuhkan hafalan yang bagus dan mantap. Juga cara dakwah seperti
ini haruslah disampaikan dari orang yang jelas Islamnya, baligh (dewasa) dan
memiliki sikap ‘adalah (sholeh, tidak sering melakukan dosa besar,
menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang mengurangi harga diri/ muru’ah, dll).[6]
5.
Menyampaikan
secara makna dan pemahaman terhadap nash-nash yang ada. Orang yang menyampaikan
ilmu seperti ini butuh capabilitas dan legalitas tersendiri yang diperoleh dari
banyak menggali ilmu dan bisa pula dengan mendapatkan persaksian atau izin dari
para ulama. Hal ini dikarenakan memahami nash-nash membutuhkan ilmu-ilmu
lainnya, di antaranya bahasa, ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu ushul,
musthalah, dan membutuhkan penelaahan terhadap perkataan-perkataan ahli ilmu,
mengetahui ikhtilaf (perbedaan) maupun kesepakatan yang terjadi di
kalangan mereka, hingga ia mengetahui mana pendapat yang paling mendekati dalil
dalam suatu masalah khilafiyah. Dengan bekal-bekal ilmu tersebut akhirnya ia
tidak terjerumus menganut pendapat yang ‘nyleneh’.[7]
c. Ketiga:
Sebagian orang yang mengaku sebagai da’i, pemberi wejangan, dan pengisi
ta’lim, padahal nyatanya ia tidak memiliki pemahaman (ilmu mumpuni) dalam
agama, berdalil dengan hadits “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”.
Mereka beranggapan bahwasanya tidak dibutuhkan ilmu yang banyak untuk berdakwah
(asalkan hafal ayat atau hadits, boleh menyampaikan semau pemahamannya). Bahkan
mereka berkata bahwasanya barangsiapa yang memiliki satu ayat maka ia telah
disebut sebagai pendakwah, dengan dalil hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tersebut. Menurut mereka, tentu yang memiliki hafalan lebih banyak
dari satu ayat atau satu hadits lebih layak jadi pendakwah.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pernyataan
di atas jelas keliru dan termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi orang yang
dianugerahi ilmu oleh Allah. Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang
mereka maksudkan, melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk
menyampaikan ilmu dengan pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan
satu hadits saja. Apabila seorang pendakwah hanya memiliki hafalan ilmu yang
mantap, maka ia hanya boleh menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun
apabila ia termasuk ahlul hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan
pemahaman yang bagus), ia dapat menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman
ilmu yang ia miliki. Demikianlah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
“Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih paham dari yang mendengar
secara langsung. Dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang
faqih (bagus dalam pemahaman)”. Bagaimana seseorang bisa mengira bahwa Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak paham
agama untuk mengajarkan berdasarkan pemahaman yang ia buat asal-asalan (padahal
ia hanya sekedar hafal dan tidak paham, ed)?! Semoga Allah melindungi kita dari
kerusakan semacam ini.
B.
Saran
Kami selaku pemakalah mohon
maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah ini dapat
dibuat dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abas Hasjim, 2004, Kritik
Matan Hadits, Versi Muhadisin dan Fuqoha, Yogjakarta: Teras.
Al-Hadi, Abu Muhammad Abd al-Mahdi Ibn al-Qodir Ibn ‘Abd, t.th, Turuq
Tahkhrij, Hadits Rasulullah saw, Kairo, Dar al-Ihtisan, t.th, dinukil oleh Pokja Akademik,
Metodologi Penelitian, 2006, Yogjakarta, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Ali, Nizar, 2008, Makalah Studi al-Hadits Program Magister, Yogjakarta.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’, 2004, Mabahis fi ‘Ulum al-Hadits, t.tp, Maktabah
Wahbah, diterjemahkan
Mifdhol Abdurrahman, 2006, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, Cet.II.
Al-Tahhan, Mahmud, 1978,
Usul al-Takhrij Wa Dirasat al-Isanid, Beirut, Dar al-Qur’an al-Karim.
Danarto, Agung, 2008,
Panduan Pemrograman Maushu’ah Asysyarif, Yogjakarta, Universitas Ahmad Dahlan.
Hasbullah, Ali, 1964, Usul al-Tasyiri al-Islami, Mesir, Darul Ma’arif.
Ismail, Muhammad Syuhudi,
1992, Metode Penelitian Hadits Nabi, Jakarta, Bulan Bintang.
———————, 2005,
Paradigma Baru Memahami Hadits Nabi, Jakarta. Renaisan.
Mustaqim, Abdul, 2002, Teori Sistem Isnad dan Otensitas Hadits, Menurut
Perspektif Muhammad Mustafa Azami dalam Fazhurrahman., Yogjakarta, Tiara Wacana, cet. 1.
Muhaimin, 2005, Kawasan dan
Wawasan Studi Islam, Jakarta: Fajar Inter Pratama Offset.
Zuhri, Muhammad, 2003,
Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogjakarta: Tiara Wacana, cet. II
futnot
[1] ( HR. Bukhari. Diriwayatkan
oleh Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu.)
[2] Diterjemahkan dari : “Ta’liqat
‘ala Arba’ina Haditsan fi Manhajis Salaf” Syaikh Ali bin Yahya Al
Haddadi. Peterjemah: Yhouga
Ariesta www.muslim.or.id
[3] (QS. Al Maidah : 3)
[4] Al Ma’afi An Nahrawani
[5] Al Ma’afi An Nahrawani
[6] Diterjemahkan dari : “Ta’liqat
‘ala Arba’ina Haditsan fi Manhajis Salaf” Syaikh Ali bin Yahya Al
Haddadi. Penerjemah: Yhouga
Ariesta www.muslim.or.id
[7] ibit
[8] ibit
abbooo
BalasHapushbg
Hapus