Kamis, 11 Juli 2013

PERINTAH MENYAMPAIKAN DAKWAH WALAU SATU AYAT


PERINTAH MENYAMPAIKAN DAKWAH WALAU SATU AYAT
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
HADIS 1
 
DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK:            1
KELAS: D2

FAISOL HUDA                                  B74210076
IRFAN ANSORI                                 B74210075
ADITIA                                               B74210070


Dosen Pembimbing
Drs. ABDUL MUJEB


FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN MENEJEMEN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
 2010

KATA PENGANTAR

ASSALAMUALAIKUM  WARAHMATULLOHI WABAROKATUH
Puji syukur alhamdulillah kehadirot Alloh SWT . yang telah memberikan kekuatan dan kemampuan pada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan judul
 “PERINTAH MENYAMPAIKAN WALAU SATU AYAT” makalah ini berisi tentang
  Teks hadis menyampaikan dakwah walau satu ayat,  Perawai hadits menyampaikan dakwah walau satu ayat Dan poin kandungan menyampaikan dakwah walau satu ayat “.
Ucapan terimakasih kepada Bapak Drs. H ABDL MUJEB ADNAN.MAg
 selaku dosen pembimbing.
 kami sebagai  manusia biasa yang tak luput dari kekhilafan, saya mohon maaf apabila ada kesalahan  dan kekurangan dalam pembuatan makalah ini.
Saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapkan agar dalam pembuatan makalah berikutnya dapat lebih baik lagi.
Akhirnya semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi saya khususnya bagi pembaca pada umumnya.Amin.

Wassalamualaikum warahmatullohi wabarokatuh.




Surabaya, 1 April 2011

           
Penyusun

 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Dakwah adalah satu kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dari sudut bahasa, dakwah artinya mengajak atau menyeru. Adapun istilah dakwah yang biasa kita gunakan memiliki pengertian yang lebih khusus: mengajak dan menyeru manusia ke jalan Allah (da’watun naas ilallah). Ini artinya sangat luas, yakni mengajak dari kekafiran kepada keimanan, dari syirik kepada tauhid, dari kesesatan kepada petunjuk, dari kebodohan kepada ilmu, dari kehidupan jahiliyah kepada kehidupan islami, dari kemaksiatan kepada ketaatan, dari bid’ah kepada sunnah, dari keburukan kepada kebaikan.
Dari pengertian dakwah yang seperti ini, sebetulnya dakwah itu sangat luas. Dakwah tidak hanya terbatas pada ceramah agama dan tabligh akbar. Segala usaha dan upaya yang kita lakukan untuk mencapai dakwah walau satu ayat sebagaimana tersebut diatas adalah dakwah. Karena itu, dakwah sebetulnya bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, mulai dari yang paling sederhana seperti memberi nasihat kepada teman kita, memberikan sedikit ilmu yang kita ketahui kepada orang lain, atau memberikan keteladanan yang baik.
Nah, dengan pemahaman seperti ini, sebetulnya semua orang bisa menyampaikan dakwah walau satu ayat. Dakwah bukan monopoli para ustadz atau para kyai. Siapapun bisa berdakwah, tentu saja sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya masing-masing. Inilah makna dari sabda Rasulullah saw: Ballighuu ‘annii walau aayat ‘Sampaikan dariku meski hanya satu ayat.’ Ini artinya, jika engkau tahu satu ayat, sampaikan satu ayat. Jika engkau tahu dua ayat, sampaikan dua ayat. Demikian seterusnya. Jangan sampai kita tahu satu ayat – apalagi lebih – tetapi kita diam saja atau bahkan menyembunyikannya.

B.     Rumusan masalah.
1.      Bagaimana bentuk teks hadis menyampaikan dakwah walau satu ayat.?
2.      Siapa perawai hadits menyampaikan dakwah walau satu ayat…………?
3.      Seperti apa poin kandungan menyampaikan dakwah walau satu ayat…?




BAB II
PEMBAHASAN

1.      Tex hadis
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
         بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” [1]
فليبلغَ ا لثّا هد منكم ا لغا ئب
"Maka Sampaikanlah Kesaksian Kamu/I  yang tedak Di Ketahui Mata"
fdsfsfsfsfgfgfdgfdggfgrrfgfgfgrhgtytyyyyiukgfhjfjhfjhfnjhvjhfj
2.      Seputar perawi hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’ad bin Sahm As Sahmiy. Nama kunyah beliau Abu Muhammad, atau Abu Abdirrahman menurut pendapat lain. Beliau adalah salah satu diantara Al ‘Abaadilah (para shahabat yang bernama Abdullah, seperti ‘Abdullah Ibn Umar, ‘Abdullah ibn Abbas, dan sebagainya –pent) yang pertama kali memeluk Islam, dan seorang di antara fuqaha’ dari kalangan shahabat. Beliau meninggal pada bulan Dzulhijjah pada peperangan Al Harrah, atau menurut pendapat yang lebih kuat, beliau meninggal di Tha’if.[2]
3.      Poin kandungan hadits :

a.      Pertama:
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari beliau, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang artinya), “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku ridhai Islam sebagai agama bagimu”.[3]   Tentang sabda beliau, “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”, Hal ini agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit.[4] Tujuannya agar nukilan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.” Hal ini sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir”. Bentuk perintah dalam hadits ini menunjukkan hukum fardhu kifayah.[5]
b.      Kedua:
Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi dalam dua bentuk :
4.      Menyampaikan dalil dari Al Qur’an atau sebagiannya dan dari As Sunnah, baik sunnah yang berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (amaliyah), maupun persetujuan (taqririyah), dan segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cara penyampaian seperti ini membutuhkan hafalan yang bagus dan mantap. Juga cara dakwah seperti ini haruslah disampaikan dari orang yang jelas Islamnya, baligh (dewasa) dan memiliki sikap ‘adalah (sholeh, tidak sering melakukan dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang mengurangi harga diri/ muru’ah, dll).[6]

5.      Menyampaikan secara makna dan pemahaman terhadap nash-nash yang ada. Orang yang menyampaikan ilmu seperti ini butuh capabilitas dan legalitas tersendiri yang diperoleh dari banyak menggali ilmu dan bisa pula dengan mendapatkan persaksian atau izin dari para ulama. Hal ini dikarenakan memahami nash-nash membutuhkan ilmu-ilmu lainnya, di antaranya bahasa, ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu ushul, musthalah, dan membutuhkan penelaahan terhadap perkataan-perkataan ahli ilmu, mengetahui ikhtilaf (perbedaan) maupun kesepakatan yang terjadi di kalangan mereka, hingga ia mengetahui mana pendapat yang paling mendekati dalil dalam suatu masalah khilafiyah. Dengan bekal-bekal ilmu tersebut akhirnya ia tidak terjerumus menganut pendapat yang ‘nyleneh’.[7]

c.       Ketiga:

Sebagian orang yang mengaku sebagai da’i, pemberi wejangan, dan pengisi ta’lim, padahal nyatanya ia tidak memiliki pemahaman (ilmu mumpuni) dalam agama, berdalil dengan hadits “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”. Mereka beranggapan bahwasanya tidak dibutuhkan ilmu yang banyak untuk berdakwah (asalkan hafal ayat atau hadits, boleh menyampaikan semau pemahamannya). Bahkan mereka berkata bahwasanya barangsiapa yang memiliki satu ayat maka ia telah disebut sebagai pendakwah, dengan dalil hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Menurut mereka, tentu yang memiliki hafalan lebih banyak dari satu ayat atau satu hadits lebih layak jadi pendakwah.[8]


 BAB III 
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pernyataan di atas jelas keliru dan termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah. Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang mereka maksudkan, melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu dengan pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja. Apabila seorang pendakwah hanya memiliki hafalan ilmu yang mantap, maka ia hanya boleh menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun apabila ia termasuk ahlul hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus), ia dapat menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki. Demikianlah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih paham dari yang mendengar secara langsung. Dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang faqih (bagus dalam pemahaman)”. Bagaimana seseorang bisa mengira bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak paham agama untuk mengajarkan berdasarkan pemahaman yang ia buat asal-asalan (padahal ia hanya sekedar hafal dan tidak paham, ed)?! Semoga Allah melindungi kita dari kerusakan semacam ini.
B.     Saran  
Kami selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah ini dapat dibuat dengan lebih baik lagi.


DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Al-Fairuz, 1313 H, al-Qamus al-Muhit, Kairo al-Maimuniyyah.
Abas Hasjim, 2004, Kritik Matan Hadits, Versi Muhadisin dan Fuqoha, Yogjakarta: Teras.
Al-Hadi, Abu Muhammad Abd al-Mahdi Ibn al-Qodir Ibn ‘Abd, t.th, Turuq Tahkhrij,
Hadits Rasulullah saw, Kairo, Dar al-Ihtisan, t.th, dinukil oleh Pokja Akademik,
Metodologi Penelitian, 2006, Yogjakarta, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Ali, Nizar, 2008, Makalah Studi al-Hadits Program Magister, Yogjakarta.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’, 2004, Mabahis fi ‘Ulum al-Hadits, t.tp, Maktabah
Wahbah, diterjemahkan Mifdhol Abdurrahman, 2006, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet.II.
Al-Tahhan, Mahmud, 1978, Usul al-Takhrij Wa Dirasat al-Isanid, Beirut, Dar al-Qur’an al-Karim.
Danarto, Agung, 2008, Panduan Pemrograman Maushu’ah Asysyarif, Yogjakarta, Universitas Ahmad Dahlan.
Hasbullah, Ali, 1964, Usul al-Tasyiri al-Islami, Mesir, Darul Ma’arif.
Ismail, Muhammad Syuhudi, 1992, Metode Penelitian Hadits Nabi, Jakarta, Bulan Bintang.
———————, 2005, Paradigma Baru Memahami Hadits Nabi, Jakarta. Renaisan.
Mustaqim, Abdul, 2002, Teori Sistem Isnad dan Otensitas Hadits, Menurut Perspektif
Muhammad Mustafa Azami dalam Fazhurrahman., Yogjakarta, Tiara Wacana, cet. 1.
Muhaimin, 2005, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Fajar Inter Pratama Offset.
Zuhri, Muhammad, 2003, Hadits Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogjakarta: Tiara Wacana, cet. II

futnot

[1]  ( HR. Bukhari. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu.)
[2]  Diterjemahkan dari : “Ta’liqat ‘ala Arba’ina Haditsan fi Manhajis Salaf” Syaikh Ali bin Yahya Al Haddadi. Peterjemah: Yhouga Ariesta www.muslim.or.id
[3]  (QS. Al Maidah : 3)
[4]  Al Ma’afi An Nahrawani
[5]  Al Ma’afi An Nahrawani
[6]  Diterjemahkan dari : “Ta’liqat ‘ala Arba’ina Haditsan fi Manhajis Salaf” Syaikh Ali bin Yahya Al Haddadi. Penerjemah: Yhouga Ariesta www.muslim.or.id
[7]  ibit
[8]  ibit

2 komentar:

http://www.facebook.com/theicol