Berbicara tentang pakaian perempuan dilihat dari perspektif keindahan
pastilah sangat menarik sampai kapanpun, data membuktikan berapa
milyard dolar dana disediakan untuk industri ini. Yang lebih menggelitik
untuk ditulis ketika wacana agama ingin mempersempit ruang kreatifitas
perancang mode pakaian dengan doktrin tentang wilayah tubuh yang boleh
dan tidak boleh dibuka bagi seorang muslimah dengan ancaman neraka
bagi yang melanggarnya.
Al-qur’an yang diimani muslim sebagai
sumber kebenaran mutlak (walau hampir dipastikan tak ada yang qath’i)
tak satupun ayat yang berbicara tentang batasan AURAT ( wilayah tubuh
yang harus ditutup), bahkan ketika disebut dalam surat an-nur terkesan
yang dimaksud adalah wilayah tubuh privecy perempuan. Barangkali pada
dasarnya soal tutup menutup aurat merupakan keniscayaan dan hak
preogatif manusia (urusan dunia, bagian dari seni keindahan berpakain
yang tak efektif bila dibakukan dengan ketentuan hukum). Bisakah anda
membayangkan bagaimana wujud pakaian perempuan ketika belum ditemukan
bahan pakaian?, pastilah hanya wilayah tubuh tertentu saja yang
ditutup. Belajar dari realitas itu, Rasullah saw ketika melihat budaya
arab yang mengaharuskan perempuan menutup seluruh tubuhnya (bercadar)
memerintahkan untuk membuka wajah dan telapak tangannya, karena paling
tidak wajah dan telapak tangan bisa mewakili identitas diri seseorang
secara minimal/standar, utamanya dalam kaitannya dengan pergaulan antar
sesama manusia.
Lebih menarik lagi justru al-qur’an menyebut pakaian dengan tiga sebutan “libas, tsiyab, dan sarabil”
dan dalam uraiannya, ketiga istilah pakaian tersebut tak ada
hubungannya dengan perintah menutup aurat, karena menutup aurat itu
bagi penulis dipandang sebagai sebuah keniscayaan bagi manusia sejak
dari Adam sampai di era Yulia Peres. Libas digunakan sebagai
istilah pakaian dalam arti “pakaian lahir dan batin” disebut sebagai
penutup tubuh agar makin indah dan bermartabat serta secara batiniyah
ditegaskan dalam surat al-a’raf ayat 26 disebut “libaasuttaqwa”, sedang tsiyab
lebih dimaknai oleh penulis sebagai “pakaian metafor” yang dipenuhi
dengan nuansa kebahagian dan kesedihan akhirat, identitas diri yang
berhubungan dengan status manusia dihadirat Tuhannya, sementara istilah
sarabil lebih dimaknai sebagai pakaian profesi (khusus)
semisal pakaian tentara untuk perang dll.(dalam perspektif sekarang
bisa disebut, pakaian olah raga, kelengkapan pakaian pengendara motor,
dan masih banyak lagi) intinya berfungsi melindungi tubuh dari
kemungkinan-kemungkinan yang membahayakan keselamatan jiwa raga dari
perspektif profesi tersebut.
Budaya Jilbab
Megapa al-qur’an
menyinggung budaya jilbab dalam surat al-ahzab ayat 59?, karena tema
yang diusung adalah soal adab sopan santun dalam keluarga Rasulullah.
Makanya ayat tersebut khusus ditujukan kepada Rasulullah, dan
keluarganya serta orang-orang mukmin ketika itu, yang tentunya secara
faktual bisa berinteraksi langsung dengan keluarga Rasulullah. Ayat itu
tak layak diberlakukan bagi mukmin sekarang yang sudah mengglobal yang
terdiri dari berbagai suku dan bangsa dengan budaya warna warninya.
Bagaimana mungkin sebuah budaya lama dipaksakan untuk diberlakukan buat
suku atau bangsa yang lebih berbudaya? Maka mengkaitkan ayat diatas
dengan kewajiban memakai jilbab bagi semua muslimah di zaman yang
multikulturalisme itu adalah ajakan yang sia-sia, dan hanya menambah
beban psikologis bagi kebanyakan kaum muslimah, kecuali tentunya orang
yang bebal otaknya.
Pada menjelang ujung ayat diatas dijelaskan dengan tepat “dzalika adna an yu’rafna”
artinya, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal. Jelas
ini menyangkut identitas (dalam hal ini sebagai pengikut Nabi) ketika
itu harus berbeda identitasnya dengan pengikut kafir quraisy. Cuman
kalau identitas yang sangat simbolis itu diusung kembali untuk zaman
sekarang apalagi dengan memakai ancaman masuk neraka, apa tidak naif
itu? Yang jelas saya sebagai bangsa Indonesia tersinggung, sepertinya
budaya kita lebih buruk dari budaya mereka. Padahal budaya bangsa
Indonesia ini tak pernah disebut al-qur’an sebagai bangsa yang “asyaddul kufra wa nifaq”?
Tentang surat an-Nur ayat 31
Sebenarnya
surat an-nur ayat 31 ini merupakan penjelasan lebih rinci sekaligus
umpan balik dari ayat sebelumnya (ayat 30) yang temanya menyangkut
pedoman umum pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrim, menyangkut didalamnya: menahan pandangan mata (lirikan nakal
kali ye), memelihara/menjaga kemaluannya dari fakhisyah (kejahatan
seksual), dan khusus perempuan tidak menampakkan perhiasannya
(simpul-simpul seksualnya), kecuali yang biasa nampak dari padanya.
karena yang demikian itu dipandangnya sebagai lebih suci dan
terhormatlah. Jadi ayat ini juga tidak dalam konteks kewajiban memakai
jilbab. Kalaupun didalamnya menyinggung tentang “auratun nisa’”
yang dalam penjelasan ayat dikaitkan dengan anak kecil yang belum
mengerti tentang aurat perempuan (wilayah khusus simpul-simpul seks)
justru menjadi bukti bahwa ayat ini tidak relevan dijadikan dasar
pijakan perempuan wajib memakai jilbab. Yang penting seorang muslimah
itu mampu menjaga dan memelihara kehormatannya dengan menggunakan
pakaian yang menutupi simpul-simpul seks-nya dengan desain yang indah
dan tidak fulgar.
Simpulan yang dapat diambil dari bahasan diatas
adalah bahwa seyogyanya pakaian muslimah itu harus mengadung dimensi
keindahan karena pada hakekatnya perempuan itu simbul keindahan,
selanjutnya mampu mewujudkan identitas diri yang plural artinya mampu
menyesuaikan dengan budaya setempat, juga budaya global, dan yang lebih
penting lagi mampu membentengi citra Islam sebagai rahmatan lil
alamin. Simpulan diatas sudah terbukti secara historis, berapa persen
sih muslimah yang menggunakan jilbab? Kalau kita boleh berandai-andai,
kali ada katakanlah duapuluh persen misalnya dari seluruh populasi
muslimah dunia, maka sebenarnya yang setia seratus persen dengan
kreteria para Ulama penganjur jilbab tak ada separuhnya, mayoritas
dari pemakai jilbab (terutama di Indonesia) sudah terkontaminasi baik
dari lahirnya apalagi dari segi esensinya. Jadi perjuangan para Ulama
peganjur jilbab itu bisa dikatakan mendekati sia-sia, karena
mengabaikan prinsip keberagaman, kesantunan dan kemudahan dalam
beragama.
ko
BalasHapus