Kamis, 11 Juli 2013

PEMIKIRAN FILSAFAT TENTANG AKAL DAN WAHYU

PEMIKIRAN FILSAFAT TENTANG AKAL DAN WAHYU
’’PERSPEKTIF FILSAFAT BARAT’’
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
PENGANTAR FILSAFAT
”Revisi”



DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 11


IFA RATNASARI                 BO4209039
AMIRUL UMAROH             BO4209039
MUHAMMAD INDRA        BO4209042



Dosen Pembimbing

ABD.FATTAH AL AZIZI ,Sag .MEi


FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN MENEJEMEN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
 2009


 
KATA PENGANTAR

ASSALAMUALAIKUM  WARAHMATULLOHI WABAROKATUH
Puji syukur alhamdulillah kehadirot Alloh SWT . yang telah memberikan kekuatan dan kemampuan pada saya sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan judul
PEMIKIRAN FILSAFAT TENTANG AKAL DAN WAHYU
’’PERSPEKTIF FILSAFAT BARAT’’
 makalah ini berisi tentang
 “pandangan orang orang barat mengenai akal dan wahyu terhadap religi “.
Ucapan terimakasih kepada Bapak  ABD.FATTAH AL AZIZI ,Sag .MEi
selaku dosen pembimbing.
 saya sebagai  manusia biasa yang tak luput dari kekhilafan, saya mohon maaf apabila ada kesalahan  dan kekurangan dalam pembuatan makalah ini.
Saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapkan agar dalam pembuatan makalah berikutnya dapat lebih baik lagi.
Akhirnya semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi saya khususnya bagi pembaca pada umumnya.Amin.

Wassalamualaikum warahmatullohi wabarokatuh.




Surabaya, 15 Desember 2009
Penyusun


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI  ....................................................................................................... ii
A. LATAR BELAKANG ............................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................... 1
BAB II PMBAHASAN......................................................................................... 2
  1. pengertian filsafat akal dan wahyu?............................................................. 2
  2. kesalahan filsafat barat?............................................................................... 2
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN .................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Di abad pertengahan, filsafat mencurahkan perhatian terhadap masalah metafisik. Saat itu sulit membedakan mana yang filsafat dan mana yang gereja. Sedangkan periode sejarah yang umumnya disebut modern memiliki sudut pandang mental yang berbeda dalam banyak hal, terutama kewibawaan gereja semakin memudar, sementara otoritas ilmu pengetahuan semakin kuat.
 Masa filsafat modern diawali dengan munculnya renaissance sekitar abad XV dan XVI M, yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi. Problem utama masa renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun sosial.
 Di antara filosof masa renaissance adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu, sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa renaissance muncul pada era Rene Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri dari kungkungan gereja. Hal ini tampak dalam semboyannya "cogito ergo sum" (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam perkembangan pemikiran modern, karena mengangkat kembali derajat rasio dan pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan rasio manusia dapat memperoleh kebenaran

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian filsafat akal dan wahyu?
2.      Kesalahan filsafat barat?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Filsafat Akal dan Wahyu
Secara sekilas, kita banyak dapati pertentangan antara akal dan wahyu, antara sains dan wahyu.Wahyu yang diturunkan oleh Tuhan tidak selamanya bisa diterima oleh akal. Perkembangan ilmu pengetahuan kadang bertentangan dengan wahyu, sehingga seolah hal tersebut bertentangan dan bertolak belakang..
Apakah yang membuat manusia sanggup menjalani hidup mereka? Mengapa mereka bisa mengatasi masalah demi masalah yang dilalui? Kedua pertanyaan itu pasti ada jawabnya, yaitu karena mereka mempunyai kekuatan. Lantas, pertanyaan berikutnya, dari mana mereka mendapatkan kekuatan tersebut? Jawabannya dari akal dan agama.
Semenjak dahulu, akal dan agama memang dua hal yang memberi kekuatan besar kepada seseorang. Jika kita kembali menilik sejarah, beberapa orang rela disiksa karena mempertahankan keyakinan agamanya. Bilal bin Rabbah sebagai contohnya. Ia mempertahankan agamanya meskipun ditindih dengan batu panas di gurun yang tentunya juga sangat panas. Mengapa ia mau? Karena ia kuat? Mengapa ia kuat? Karena ia memiliki agama.
Di samping itu, sejarang telah mencatat ada orang yang rela mati karena mempertahankan hasil dari kerja keras akalnya. Sokrates umpamanya. Ia berhasil merumuskan suatu pengetahuan universal demi melawan kaum sophis yang mengangkatkan issue relativitas ke hadapan pemuda terpelajar . Ia dituduh merusak pemikiran masyarakat dan dihukum mati, dan ia menerima meskipun kesempatan untuk lari ada. Mengapa ia berani? Masih, karena ia kuat. Dan mengapa ia kuat? Karena ia mempunyai akal.
Tak dipungkiri lagi, akal dan agama hal yang mewarnai dunia. Namun, perjalanan keduanya tidak selalu berbarengan menemani manusia. Manusia, dalam memahami keduanya, telah melakukan perdebatan panjang menganai keduanya. Suatu saat, akal mendominasi dan agama kalah total.
 Dan jika agama menang dan akal ditinggalkan. Tapi, keduanya berposisi seimbang juga pernah ada.[1]
Di dunia Islam, perdebatan ini terjadi di kalangan para teolog. Kaum Mu’tazilah memberi penghormatan tertinggi kepada akal. Dengan akal semata, menurut mereka, manusia bisa menentukan baik dan buruk sesuatu perkara. Namun, di lain pihak, paham Asy’ariyyah menolaknya. Mereka mengedepankan wahyu, sehingga hanya dengan wahyulah manusia mendapatkan berita mengenai hal yang baik dan buruk. Akal, dalam pandangan mereka, tidak mampu mencapai hal tersebut.
Di dunia barat, perdebatan seperti ini juga terjadi. Parminedes, Heraclitus, Zeno, dan para filosof kuno lainnya berpendapat bahwa kebenaran itu terletak pada akal manusia. Manusia merupakan tolok ukur baik dan benarnya sesuatu, sehingga tidak ada kebenaran yang universal, semuanya relatif. Pemahaman seperti ini menjadikan pemuda terpelajar waktu itu meragukan kebenaran agama yang universal, yang ada adalah kebenaran relatif. Namun, dihadapkan dengan hal itu, Socrates, Plato, dan Aristoteles mengkritik dan berhasil mematahkan argumen mereka. Mereka membuktikan kebenaran universal itu ada. Mereka berhasil mengangkat kembali derajat agama. Saat itu, agama dan akal berjalan berbarengan. Pada abad pertengahan, agama pun mulai mendominasi. Anselmus mengeluarkan faham “beriman dulu untuk mengerti”. Pada zaman itu, agama menang total, sehingga akal tidak lagi mendapatkan tempat. Gereja mendominasi kehidupan dunia, siapa yang menentangnya, akan mendapatkan hukuman hingga hukum mati. Hingga akhirnya tampillah Descartes yang melepaskan kungkungan agama. Ia berhasil mengangkat derajat akal. Hasilnya, tak ayal lagi, agama kembali direndahkan. Hingga datanglah Kant yang mampu mengangkatnya kembali, hingga keduanya berdampingan kembali.
Perdebatan di antara para ahli dan filsuf, klasik ataupun modernis, di sekitar masalah akal masih berkelanjutan. Masing-masing mempertanyakan, apakah hakikat akal? Apakah makna-makna yang dapat dirumuskan untuknya? Apakah akal ini ilmu ('ilm) ataukah hati (qalb)? Persoalan-persoalan di sekitar tugas-tugas akal dapat kita jumpai di dalam warisan-warisan intelektual Islam, dan perbincangan tentang ia terus berlangsung dikalangan pendukung-pendukungnya sampai zaman kita sekarang. Di dalam bahasa dijumpai pula perbedaan mengenai arti akal ini. Di dalam bahasa Arab, akal diartikan kecerdasan: lawan kebodohan, dan diartikan pula dengan hati (qalb): suatu kekuatan yang membedakan manusia dari semua jenis hewan.
Ibn Rusyd memberikan perhatian terhadap tatanama akal itu, karena dia melihat bahwa akal manusia tidak berada pada satu tingkatan dalam menyerap sesuatu. [2]Ada akal-akal yang menembus sampai jauh dan menyentuh benang-benang halus untuk mengikat segala sesuatu. Ada pula akal yang tidak mencapai tingkatan tersebut karena terikat dan terhenti pada sifat-sifat yang tampak dan gejala-gejala nyata saja. Menurut pendapatnya di bawah kedua tingkatan akal tersebut ialah akal yang tidak mengetahui rahasia ikatan-ikatan yang tersembunyi atau yang tampak, kecuali hanya terhenti pada penerimaan kata-kata yang diungkap (resonan) dan kalimat-kaliinat retorik. Ibn Rusyd membagi akal manusia kepada tiga macam: Pertama, akal demonstratif (burhani) yang mampu memahami dalil-dalil yang meyakinkan dan tepat, menghasilkan hal-hal yang jelas dan penting, dan melahirkan filsafat. Akal ini hanya diberikan kepada sedikit orang saja. Kedua, akal. logik.(manthiqi) yang sekedar memahami fakta-fakta argumentatif. Ketiga, akal retorik (khithabi) yang hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat nasehat dan retorik, tidak dipersiapkan untuk memahami aturan berfikir sistematik. [3]Di bawah ketiga akal itu ialah akal yang dapat disaksikan pada orang biasa dan kebanyakan.
 Seperti halnya akal, wahyu mempunyai  macam-macam arti menurut bahasa yaitu: 
Wahyu berarti Ilham yang tidak hanya diberikan kepada manusia secara khusus bahkan juga kepada makhluk yang lain. Seperti terdapat dalam finnan-firman Allah berikut:
Dan Kami wahyukan (= ilhamkan) kepada ibu Musa:
"Susukanlah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke dalam sungai".(Q.S. AI-Qashash:7)
Dan Tuhanmu mewahyukan (= mengilhamkan) kepada lebah:
"Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia". (Qs. AI-Nahl: 68)
Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu mewuhyukan (=memberikan isyarat) kepada mereka:
"Hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang". (Qs. Maryam : 11).
 
Ø  Wahyu berarti bisikan:
Sesungguhnya syetan itu mewuhyukan (= membisikkan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu telah menjadi orang-orang yang musyrik". (Qs. Al-An'am:121).

Ø  Qur'an bermakna wahyu: [4]
Dan tiadalah yang diucapkan itu (Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang  diwahyukan (kepadanya). (Qs. AI-Najm: 3 - 4).
Menurut istilah syariat, wahyu adalah risalah samawi (langit) yang diberikan kepada seorang nabi yang dipilih dari hamba-hamba Allah, agar ia berbuat dengannya dan menyampaikannya kepada kaum di mana ia diutus.
Berdasarkan pengertian tersebut wahyu ada bermacam macam. Terkadang berarti ungkapan tentang penyampaian makna ke dalam jiwa dan hati; dan berarti pula pembicaraan di balik tabir. Karena itu, Jibril, malaikat pembawa wahyu, turun kepada para nabi menyampaikan risalah langit dan ajaran-ajarannya Atau Jibril datang dengan menampakkan diri dalam berbagai bentuk yang berbeda, dan hal ini tidak penting kita bicarakan panjang lebar di sini. Qur'an menjelaskan macam-macam wahyu ini di dalam ayat:
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di balik tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. (Qs. AI-Syura: 51). 

Yang ingin kami tegaskan dalam pembicaraan tentang wahyu ini, bahwa Islam berbeda dengan agama-agama yang mendahuluinya, karena mukjizatnya yang abadi, Qur'an, yang diwahyukan dan Allah, seperti ditegaskan di dalam ay at:
Dan sesungguhnya Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Al-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orangyang memberikan peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (Qs. Al-Syu'ara' : 192 - 195).
Ini berarti Qur'an bukan buatan manusia. Bila tidak, ia akan mudah dipermainkan oleh akal dengan kata-kata, baik di bidang gaya atau keindahan bahasanya. Narnun temyata sampai kini bahkan sampai bumi dan isinya kembali kepada Allah, Qur'an tetap membawa unsur-unsur dinamik yang memberikan kekuasaannya kepada akal dan hati untuk menangkap rahasia kebesaran Allah, akan tetapi dengan berpijak kepada garis-garis yang telah ditetapkan.

B.     KESALAHAN FILSAFAT BARAT
1.      Karakteristik Filsafat Barat[5]
Filsafat Barat mengandalkan pemikiran yang lahir dari tradisi rasional dan sekuler Yunani dan Roma. Karena itu Barat tidak dapat merumuskan visinya mengenai kebenaran dan realitas berdasarkan pengetahuan yang diwahyukan. Demikian yang diungkapkan oleh C. A. Qadir, seorang filsuf muslim kontemporer dalam bukunya, Philosophy and Science in the Islamic Word. Pengetahuan Barat lahir dari spekulasi-spekulasi metafisis para pemikir yang menganut yang menganut faham evolusi kehidupan dan penjelasan psikoanalitik tentang kodrat manusia, yang kemudianmenghasilkan desakralisasi pengetahuan. Melalui pandangan yang melalui desakralisasi itulah kemudian, Barat benar-benar memotong pengetahuan dari akarnya sehingga kehilangan wawasan tentang yang sakral. Akibat dari kecendrungan ini, yang pertama-tama mendapat pengaruh ialah pemikiran itu sendiri. Filsafat pada akhirnya hanya dipandang sebagai produk rasio semata-mata. Yang lebih lanjut timbul dari padanya ialah pandangan yang mekanistik mengenai realitas serta pandangan dunia yang tidak memberi tempat bagi nilai-nilai kerohanian.
 Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Barat memandang bahwa filsafat adalah segala upaya (berfikir filsafati) untuk menemukan kebenaran berdasarkan fikiran atau akal belaka, mereka kemudian memperjelas pengertiannya dengan mengatakan bahwa kebenaran tersebut dicapai bukan menggunakan wahyu atau ajaran agama, sebab jawaban berdasarkan wahyu atau ajaran agama bukan jawaban berdasarkan fikiran atau akal belaka. Karena itu mereka membedakan antara kebenaran filasafat dengan kebenaran wahyu atau agama. Cara pandang yang seperti inilah yang disebut sekularistik.
Pola fikir sekularistik inilah yang merupakan akar kesalahan konsep filsafat yang dibangun oleh Barat. Implikasi dari akar kesalahan ini, akan kelihatan secara jelas dalam pembahasan berikut ini.

2.      Pandangan Filsafat Barat Tentang Sumber Ilmu[6]
Pembicaraan tentang sumber ilmu merupakan permasalahan yang sangat mendasar dalam filsafat ilmu, karena dari padanyalah berpijak landasan-landasan filosofis (filsafat) ilmu.
Menurut filsafat science modern, yang dikenal juga dengan filsafat Barat (baca: filsafat sekularistik), ada empat sumber ilmu, yaitu:

a. Orang yang Memiliki Otoritas[7]
yaitu mereka yang karena otoritasnya, tepat dan relevan dijadikan sebagai sumber pengetahuan tentang suatu hal. Otoritas tersebut didasarkan pada kesaksian yang bisa diberikannya.
Di zaman moderen ini, orang yang ditempatkan memiliki otoritas, misalnya, dengan pengakuan melalui gelar, diploma/ijazah. Termasuk juga dalam hal ini, misalnya, hasil publikasi resmi mengenai kesaksian otoritas tersebut, seperti buku-buku atau publikasi resmi pengetahuanlainnya.
Namun, penempatan otoritas sebagai sumber pengetahuan tidaklah dilakukan dengan penyandaran pendapat sepenuhnya, dalam arti tidak dilakukan secara kritis untuk tetap bisa menilai kebenaran dan kesalahannya. Karena itu, otoritas hanya ditempatkan sebagai sumber kedua, yang berkedudukan sebagai sumber eksternal, sedangkan sumber-sumber internal pada diri sendiri tetap sebagai sumber pertama.

b. Indra
Indra adalah peralatan pada diri manusia sebagai salah satu sumber internal pengetahuan. Untuk memahami posisi indra sebagai sumber pengetahuan biasanya diajukan pertanyaan misalnya, bagaimana mengetahui bahwa besi memuai bila dipanaskan ? atau air membeku bila didinginkan hingga mencapai derajat kedinginan tertentu ? Terhadap pengetahuan semacam itu, filsafat science moderen berpandangan bahwa indra lah yang menjadi sumbernya.
Bahkan pandangan empirisme yang diterapkan dalam filafat science moderen menyatakan bahwa pengetahuan pada dasarnya adalah dan hanyalah pengalaman-pengalaman konkrit kita yang terbentuk karena persepsi indra, seperti persepsi penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan pencicipan dengan lidah. Namun dalam menempatkan indra sebagai sumber penegetahuan, filsafat ilmu sekuler juga menekankan pentingnya kehati-hatian, utamanya terhadap kemungkinan pengaruh prasangka dan emosi yang akan merusak obyektifitas.

c. Akal
Dalam kenyataannya ada pengetahuan tertentu yang bisa dibangun oleh manusia tanpa harus atau tidak bisa mempersepsinya dengan indera terlebih dahulu. Manusia bisa membangun pengetahuan, misalnya, dari anggapan dua entitas yang masing-masing sama besarnya dengan entitas ketiga adalah entitas sama besar. Pengetahuan semacam itu jelas dengan sendirinya (tanpa persepsi indra) karena ada akal yang memungkinkannya. Demikian argumentasi yang dibangun para filsuf ilmu sekuler untuk melandasi pemikiran mereka mengenai akal sebagai sumber pengetahuan. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, maka filsafat ilmu sekuler menempatkan akal adalah salah-satu sumber pengetahuan yang mungkin untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Pandangan ini merupakan representasi dari pandangan filsafat Rasionalisme, yang dalam pandangan moderatnya berpendirian bahwa manusia memiliki potensi mengetahui dengan pasti dengan sendirinya, tentang beberapa hal yang relevan. Misalnya, kenyataan-kenyataan : keseluruhan adalah lebih besar dari bagian-bagiannya; satu adalah separuh dari dua; keliling lingkaran lebih besar dari garis tengahnya; adalah pengetahuan yang dapat diketahui dengan pasti dan dengan sendirinya karena potensi akal.

d. Intuisi
George Santayana (dalam Titus et al, 1984) memakai istilah intuisi dalam arti kesadaran tentang data-data yang langsung dirasakan. Misalnya sewaktu kita mendengar bunyi, maka selain kita mendengar, kita juga sadar tentang pendengaran kita dan sadar tentang diri kita sebagai yang mendengar. Jadi menurut Titus, Smith dan Nolan (1984) intuisi terdapat dalam pengetahuan tentang diri sendiri, kehidupan diri sendiri dan dalam aksioma matematika. Intuisi ada dalam pemahaman kita tentang hubungan antara kata-kata (preposition) yang membentuk bermacam-macam langkah dari argumen. Unsur intuisi adalah dasar dari pengakuan kita terhadap keindahan ukuran moral yang kita terima dari nilai-nilai agama.
Kesimpulannya adalah, bahwa ilmu bersumber dari aktifitas optimal yang dilakukan oleh manusia, dengan belajar, memaksimalkan indra, akal, atau ilmu itu datang secara tiba-tiba, dengan kata lain sumber ilmu menurut Barat adalah manusia dan alam.
C.    Kesalahan Pandangan Filsafat Barat Tentang Sumber Ilmu[8]
Sebelum dijelaskan lebih lanjut tentang sumber ilmu menurut filsafat Barat, maka yang terlebih dahulu perlu didefinisikan adalah, makna Sumber.
Logika sehat kita pasti mengatakan, bahwa yang disebut sumber adalah yang tidak pernah tidak memiliki sesuatu. Ketika kita menimba air di sumur, maka timba tidak bisa dikatakan sebagai sumber air, sumber air itu sendiri adalah sumurnya, sedangkan timba yang kita gunakan hanyalah merupakan alat.
Filsafat Barat berkesimpulan bahwa sumber ilmu adalah dari manusia dan alam. Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: Apakah manusia dan alam menciptakan dirinya sendiri? Apakah manusia dan alam lahir/tercipta dalam keadaan sudah memiliki ilmu. Logika sehat akan menjawab, manusia dan alam tidak tercipta dengan sendirinya (ada yang menciptakan), kalau begitu manusia dan alam pernah tidak memiliki sesuatu kemudian berusaha untuk memiliki, dalam hal ini ilmu. kalau demikian faktanya maka tidaklah benar (baca: kesalahan) yang sangat fatal jika kita mengatakan manusia dan alam adalah sumber ilmu. Disinilah letak kesalahan yang paling mendasar dari teori filsafat Barat yang memisahkan aktifitas berfikir dengan wahyu.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ibn Rusyd memberikan perhatian terhadap tatanama akal itu, karena dia melihat bahwa akal manusia tidak berada pada satu tingkatan dalam menyerap sesuatu. Ada akal-akal yang menembus sampai jauh dan menyentuh benang-benang halus untuk mengikat segala sesuatu. Ada pula akal yang tidak mencapai tingkatan tersebut karena terikat dan terhenti pada sifat-sifat yang tampak dan gejala-gejala nyata saja. Menurut pendapatnya di bawah kedua tingkatan akal tersebut ialah akal yang tidak mengetahui rahasia ikatan-ikatan yang tersembunyi atau yang tampak, kecuali hanya terhenti pada penerimaan kata-kata yang diungkap (resonan) dan Filsafat Barat mengandalkan pemikiran yang lahir dari tradisi rasional dan sekuler Yunani dan Roma. Karena itu Barat tidak dapat merumuskan visinya mengenai kebenaran dan realitas berdasarkan pengetahuan yang diwahyukan.  kalimat-kaliinat retorik. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Barat memandang bahwa filsafat adalah segala upaya (berfikir filsafati) untuk menemukan kebenaran berdasarkan fikiran atau akal belaka, mereka kemudian memperjelas pengertiannya dengan mengatakan bahwa kebenaran tersebut dicapai bukan menggunakan wahyu atau ajaran agama, sebab jawaban berdasarkan wahyu atau ajaran agama bukan jawaban berdasarkan fikiran atau akal belaka. Karena itu mereka membedakan antara kebenaran filasafat dengan kebenaran wahyu atau agama. Kesimpulannya adalah, bahwa ilmu bersumber dari aktifitas optimal yang dilakukan oleh manusia, dengan belajar, memaksimalkan indra, akal, atau ilmu itu datang secara tiba-tiba, dengan kata lain sumber ilmu menurut Barat adalah manusia dan alam.

 
DAFTAR PUSTAKA

Abbas Hamami M. Filsafat Suatu Pengantar Logika Formal-Filsafat Pengatahuan. Yogyakarta. 1976.
Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995
Prof .Dr.K,Bertens. Sejarah filsafat Yunani,Manado,Kanisisus,1999.
Mohammad hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta,Tirtamas,1982.


[1] Abbas Hamami M. Filsafat Suatu Pengantar Logika Formal-Filsafat Pengatahuan.
(Yogyakarta. 1976), Hal. 52
[2] Prof .Dr.K,Bertens.Sejarah filsafat Yunani,Manado,Kanisisus,1999.hal. 22      
[3] Abbas Hamami M. Filsafat Suatu Pengantar Logika Formal-Filsafat Pengatahuan. (Yogyakarta. Mizan.1976), hal. 61
[4] Mohammad hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta,Tirtamas,1982). Hal: 37
[7] Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). Hal: 35
[8] Abbas Hamami M. Filsafat Suatu Pengantar Logika Formal-Filsafat Pengatahuan. (Yogyakarta  1976). hal 27

2 komentar:

  1. makasih gan,atas informasi yang diberikan. Say menjadikannya referensi untuk mata kuliah filsafat saya

    BalasHapus

http://www.facebook.com/theicol