PEMIKIRAN FILSAFAT TENTANG AKAL DAN WAHYU
’’PERSPEKTIF FILSAFAT BARAT’’
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“PENGANTAR FILSAFAT”
”Revisi”
DI
SUSUN OLEH :
KELOMPOK
11
IFA
RATNASARI BO4209039
AMIRUL
UMAROH BO4209039
MUHAMMAD
INDRA BO4209042
Dosen
Pembimbing
ABD.FATTAH
AL AZIZI ,Sag .MEi
FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN MENEJEMEN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2009
KATA PENGANTAR
ASSALAMUALAIKUM WARAHMATULLOHI WABAROKATUH
Puji
syukur alhamdulillah kehadirot Alloh SWT . yang telah memberikan kekuatan dan
kemampuan pada saya sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“ PEMIKIRAN FILSAFAT TENTANG AKAL DAN
WAHYU
’’PERSPEKTIF FILSAFAT BARAT’’”
makalah ini berisi tentang
“pandangan orang orang barat mengenai akal dan
wahyu terhadap religi “.
Ucapan terimakasih
kepada Bapak ABD.FATTAH AL AZIZI
,Sag .MEi
selaku
dosen pembimbing.
saya sebagai
manusia biasa yang tak luput dari kekhilafan, saya mohon maaf apabila
ada kesalahan dan kekurangan dalam
pembuatan makalah ini.
Saran
dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapkan agar dalam
pembuatan makalah berikutnya dapat lebih baik lagi.
Akhirnya
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi saya khususnya bagi pembaca
pada umumnya.Amin.
Wassalamualaikum
warahmatullohi wabarokatuh.
Surabaya, 15 Desember 2009
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
A. LATAR BELAKANG ............................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................... 1
BAB II PMBAHASAN......................................................................................... 2
- pengertian filsafat akal dan wahyu?............................................................. 2
- kesalahan filsafat barat?............................................................................... 2
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN .................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Di abad pertengahan, filsafat mencurahkan
perhatian terhadap masalah metafisik. Saat itu sulit membedakan mana yang
filsafat dan mana yang gereja. Sedangkan periode sejarah yang umumnya disebut
modern memiliki sudut pandang mental yang berbeda dalam banyak hal, terutama
kewibawaan gereja semakin memudar, sementara otoritas ilmu pengetahuan semakin
kuat.
Masa
filsafat modern diawali dengan munculnya renaissance sekitar abad XV dan XVI M,
yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi. Problem
utama masa renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa agama dan
filsafat dengan arah yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya
perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun
sosial.
Di
antara filosof masa renaissance adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia
berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini
bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala
sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu,
sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa
Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth),
yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa renaissance muncul pada era Rene
Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor
aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri
dari kungkungan gereja. Hal ini tampak dalam semboyannya "cogito ergo
sum" (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam
perkembangan pemikiran modern, karena mengangkat kembali derajat rasio dan
pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat
kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan
rasio manusia dapat memperoleh kebenaran
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian
filsafat akal dan wahyu?
2.
Kesalahan filsafat
barat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Filsafat Akal dan Wahyu
Secara
sekilas, kita banyak dapati pertentangan antara akal dan wahyu, antara sains
dan wahyu.Wahyu yang diturunkan oleh Tuhan tidak selamanya bisa diterima oleh
akal. Perkembangan ilmu pengetahuan kadang bertentangan dengan wahyu, sehingga
seolah hal tersebut bertentangan dan bertolak belakang..
Apakah
yang membuat manusia sanggup menjalani hidup mereka? Mengapa mereka bisa
mengatasi masalah demi masalah yang dilalui? Kedua pertanyaan itu pasti ada
jawabnya, yaitu karena mereka mempunyai kekuatan. Lantas, pertanyaan
berikutnya, dari mana mereka mendapatkan kekuatan tersebut? Jawabannya dari
akal dan agama.
Semenjak
dahulu, akal dan agama memang dua hal yang memberi kekuatan besar kepada
seseorang. Jika kita kembali menilik sejarah, beberapa orang rela disiksa
karena mempertahankan keyakinan agamanya. Bilal bin Rabbah sebagai contohnya.
Ia mempertahankan agamanya meskipun ditindih dengan batu panas di gurun yang
tentunya juga sangat panas. Mengapa ia mau? Karena ia kuat? Mengapa ia kuat?
Karena ia memiliki agama.
Di
samping itu, sejarang telah mencatat ada orang yang rela mati karena
mempertahankan hasil dari kerja keras akalnya. Sokrates umpamanya. Ia berhasil
merumuskan suatu pengetahuan universal demi melawan kaum sophis yang
mengangkatkan issue relativitas ke hadapan pemuda terpelajar . Ia dituduh
merusak pemikiran masyarakat dan dihukum mati, dan ia menerima meskipun
kesempatan untuk lari ada. Mengapa ia berani? Masih, karena ia kuat. Dan
mengapa ia kuat? Karena ia mempunyai akal.
Tak
dipungkiri lagi, akal dan agama hal yang mewarnai dunia. Namun, perjalanan
keduanya tidak selalu berbarengan menemani manusia. Manusia, dalam memahami
keduanya, telah melakukan perdebatan panjang menganai keduanya. Suatu saat,
akal mendominasi dan agama kalah total.
Dan jika agama menang dan akal ditinggalkan.
Tapi, keduanya berposisi seimbang juga pernah ada.[1]
Di
dunia Islam, perdebatan ini terjadi di kalangan para teolog. Kaum Mu’tazilah
memberi penghormatan tertinggi kepada akal. Dengan akal semata, menurut mereka,
manusia bisa menentukan baik dan buruk sesuatu perkara. Namun, di lain pihak,
paham Asy’ariyyah menolaknya. Mereka mengedepankan wahyu, sehingga hanya dengan
wahyulah manusia mendapatkan berita mengenai hal yang baik dan buruk. Akal,
dalam pandangan mereka, tidak mampu mencapai hal tersebut.
Di
dunia barat, perdebatan seperti ini juga terjadi. Parminedes, Heraclitus, Zeno,
dan para filosof kuno lainnya berpendapat bahwa kebenaran itu terletak pada
akal manusia. Manusia merupakan tolok ukur baik dan benarnya sesuatu, sehingga
tidak ada kebenaran yang universal, semuanya relatif. Pemahaman seperti ini
menjadikan pemuda terpelajar waktu itu meragukan kebenaran agama yang
universal, yang ada adalah kebenaran relatif. Namun, dihadapkan dengan hal itu,
Socrates, Plato, dan Aristoteles mengkritik dan berhasil mematahkan argumen
mereka. Mereka membuktikan kebenaran universal itu ada. Mereka berhasil
mengangkat kembali derajat agama. Saat itu, agama dan akal berjalan
berbarengan. Pada abad pertengahan, agama pun mulai mendominasi. Anselmus
mengeluarkan faham “beriman dulu untuk mengerti”. Pada zaman itu, agama menang
total, sehingga akal tidak lagi mendapatkan tempat. Gereja mendominasi
kehidupan dunia, siapa yang menentangnya, akan mendapatkan hukuman hingga hukum
mati. Hingga akhirnya tampillah Descartes yang melepaskan kungkungan agama. Ia
berhasil mengangkat derajat akal. Hasilnya, tak ayal lagi, agama kembali
direndahkan. Hingga datanglah Kant yang mampu mengangkatnya kembali, hingga keduanya
berdampingan kembali.
Perdebatan
di antara para ahli dan filsuf, klasik ataupun modernis, di sekitar masalah
akal masih berkelanjutan. Masing-masing mempertanyakan, apakah hakikat akal?
Apakah makna-makna yang dapat dirumuskan untuknya? Apakah akal ini ilmu ('ilm)
ataukah hati (qalb)? Persoalan-persoalan di sekitar tugas-tugas akal dapat kita
jumpai di dalam warisan-warisan intelektual Islam, dan perbincangan tentang ia
terus berlangsung dikalangan pendukung-pendukungnya sampai zaman kita sekarang.
Di dalam bahasa dijumpai pula perbedaan mengenai arti akal ini. Di dalam bahasa
Arab, akal diartikan kecerdasan: lawan kebodohan, dan diartikan pula dengan
hati (qalb): suatu kekuatan yang membedakan manusia dari semua jenis hewan.
Ibn Rusyd memberikan perhatian terhadap tatanama akal
itu, karena dia melihat bahwa akal manusia tidak berada pada satu tingkatan
dalam menyerap sesuatu. [2]Ada akal-akal yang
menembus sampai jauh dan menyentuh benang-benang halus untuk mengikat segala
sesuatu. Ada
pula akal yang tidak mencapai tingkatan tersebut karena terikat dan terhenti
pada sifat-sifat yang tampak dan gejala-gejala nyata saja. Menurut pendapatnya
di bawah kedua tingkatan akal tersebut ialah akal yang tidak mengetahui rahasia
ikatan-ikatan yang tersembunyi atau yang tampak, kecuali hanya terhenti pada
penerimaan kata-kata yang diungkap (resonan) dan kalimat-kaliinat retorik. Ibn
Rusyd membagi akal manusia kepada tiga macam: Pertama, akal demonstratif
(burhani) yang mampu memahami dalil-dalil yang meyakinkan dan tepat,
menghasilkan hal-hal yang jelas dan penting, dan melahirkan filsafat. Akal ini
hanya diberikan kepada sedikit orang saja. Kedua, akal. logik.(manthiqi) yang
sekedar memahami fakta-fakta argumentatif. Ketiga, akal retorik (khithabi) yang
hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat nasehat dan retorik, tidak
dipersiapkan untuk memahami aturan berfikir sistematik. [3]Di
bawah ketiga akal itu ialah akal yang dapat disaksikan pada orang biasa dan
kebanyakan.
Seperti halnya
akal, wahyu mempunyai
macam-macam arti menurut bahasa yaitu:
Wahyu berarti Ilham
yang tidak hanya diberikan kepada manusia secara khusus bahkan juga kepada
makhluk yang lain. Seperti terdapat dalam finnan-firman Allah berikut:
Dan Kami wahyukan
(= ilhamkan) kepada ibu Musa:
"Susukanlah dia, dan
apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke dalam
sungai".(Q.S. AI-Qashash:7)
Dan Tuhanmu mewahyukan
(= mengilhamkan) kepada lebah:
"Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia".
(Qs. AI-Nahl: 68)
Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu mewuhyukan (=memberikan isyarat) kepada
mereka:
"Hendaklah
kamu bertasbih di waktu pagi dan petang". (Qs. Maryam : 11).
Ø
Wahyu berarti bisikan:
Sesungguhnya syetan itu mewuhyukan (= membisikkan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti
mereka, sesungguhnya kamu telah menjadi orang-orang yang musyrik".
(Qs. Al-An'am:121).
Ø
Qur'an bermakna wahyu: [4]
Dan tiadalah yang diucapkan itu (Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Qs. AI-Najm: 3 - 4).
Menurut istilah syariat, wahyu adalah risalah samawi (langit)
yang diberikan kepada seorang nabi yang dipilih dari hamba-hamba Allah, agar ia
berbuat dengannya dan menyampaikannya kepada kaum di mana ia diutus.
Berdasarkan pengertian tersebut wahyu ada bermacam macam.
Terkadang berarti ungkapan tentang penyampaian makna ke dalam jiwa dan hati;
dan berarti pula pembicaraan di balik tabir. Karena itu, Jibril, malaikat
pembawa wahyu, turun kepada para nabi menyampaikan risalah langit dan
ajaran-ajarannya Atau Jibril datang dengan menampakkan diri dalam berbagai
bentuk yang berbeda, dan hal ini tidak penting kita bicarakan panjang lebar di
sini. Qur'an menjelaskan macam-macam wahyu ini di dalam ayat:
Dan tidak mungkin bagi seorang
manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di balik tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang
Dia kehendaki. (Qs. AI-Syura: 51).
Yang ingin kami tegaskan dalam pembicaraan tentang wahyu ini,
bahwa Islam berbeda dengan agama-agama yang mendahuluinya, karena mukjizatnya
yang abadi, Qur'an, yang diwahyukan dan Allah, seperti ditegaskan di dalam ay
at:
Dan sesungguhnya Qur'an
ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh
Al-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah
seorang di antara orang-orangyang memberikan peringatan, dengan bahasa Arab
yang jelas. (Qs. Al-Syu'ara' : 192 - 195).
Ini berarti Qur'an bukan buatan manusia. Bila tidak, ia akan
mudah dipermainkan oleh akal dengan kata-kata, baik di bidang gaya atau keindahan bahasanya. Narnun temyata
sampai kini bahkan sampai bumi dan isinya kembali kepada Allah, Qur'an tetap
membawa unsur-unsur dinamik yang memberikan kekuasaannya kepada akal dan hati
untuk menangkap rahasia kebesaran Allah, akan tetapi dengan berpijak kepada
garis-garis yang telah ditetapkan.
B.
KESALAHAN FILSAFAT BARAT
1. Karakteristik
Filsafat Barat[5]
Filsafat Barat mengandalkan pemikiran yang
lahir dari tradisi rasional dan sekuler Yunani dan Roma. Karena itu Barat tidak
dapat merumuskan visinya mengenai kebenaran dan realitas berdasarkan
pengetahuan yang diwahyukan. Demikian yang diungkapkan oleh C. A. Qadir,
seorang filsuf muslim kontemporer dalam bukunya, Philosophy and Science in the
Islamic Word. Pengetahuan Barat lahir dari spekulasi-spekulasi metafisis para
pemikir yang menganut yang menganut faham evolusi kehidupan dan penjelasan
psikoanalitik tentang kodrat manusia, yang kemudianmenghasilkan desakralisasi
pengetahuan. Melalui pandangan yang melalui desakralisasi itulah kemudian,
Barat benar-benar memotong pengetahuan dari akarnya sehingga kehilangan wawasan
tentang yang sakral. Akibat dari kecendrungan ini, yang pertama-tama mendapat
pengaruh ialah pemikiran itu sendiri. Filsafat pada akhirnya hanya dipandang
sebagai produk rasio semata-mata. Yang lebih lanjut timbul dari padanya ialah
pandangan yang mekanistik mengenai realitas serta pandangan dunia yang tidak
memberi tempat bagi nilai-nilai kerohanian.
Secara
sederhana, dapat dikatakan bahwa Barat memandang bahwa filsafat adalah segala
upaya (berfikir filsafati) untuk menemukan kebenaran berdasarkan fikiran atau
akal belaka, mereka kemudian memperjelas pengertiannya dengan mengatakan bahwa
kebenaran tersebut dicapai bukan menggunakan wahyu atau ajaran agama, sebab
jawaban berdasarkan wahyu atau ajaran agama bukan jawaban berdasarkan fikiran
atau akal belaka. Karena itu mereka membedakan antara kebenaran filasafat
dengan kebenaran wahyu atau agama. Cara pandang yang seperti inilah yang
disebut sekularistik.
Pola fikir sekularistik inilah yang merupakan akar kesalahan konsep filsafat yang dibangun oleh Barat. Implikasi dari akar kesalahan ini, akan kelihatan secara jelas dalam pembahasan berikut ini.
Pola fikir sekularistik inilah yang merupakan akar kesalahan konsep filsafat yang dibangun oleh Barat. Implikasi dari akar kesalahan ini, akan kelihatan secara jelas dalam pembahasan berikut ini.
Pembicaraan tentang sumber ilmu merupakan
permasalahan yang sangat mendasar dalam filsafat ilmu, karena dari padanyalah
berpijak landasan-landasan filosofis (filsafat) ilmu.
Menurut filsafat
science modern, yang dikenal juga dengan filsafat Barat (baca: filsafat
sekularistik), ada empat sumber ilmu, yaitu:
a. Orang yang Memiliki Otoritas[7]
yaitu mereka yang karena otoritasnya, tepat dan
relevan dijadikan sebagai sumber pengetahuan tentang suatu hal. Otoritas
tersebut didasarkan pada kesaksian yang bisa diberikannya.
Di zaman moderen ini, orang yang ditempatkan memiliki otoritas, misalnya, dengan pengakuan melalui gelar, diploma/ijazah. Termasuk juga dalam hal ini, misalnya, hasil publikasi resmi mengenai kesaksian otoritas tersebut, seperti buku-buku atau publikasi resmi pengetahuanlainnya.
Di zaman moderen ini, orang yang ditempatkan memiliki otoritas, misalnya, dengan pengakuan melalui gelar, diploma/ijazah. Termasuk juga dalam hal ini, misalnya, hasil publikasi resmi mengenai kesaksian otoritas tersebut, seperti buku-buku atau publikasi resmi pengetahuanlainnya.
Namun, penempatan otoritas sebagai sumber
pengetahuan tidaklah dilakukan dengan penyandaran pendapat sepenuhnya, dalam
arti tidak dilakukan secara kritis untuk tetap bisa menilai kebenaran dan
kesalahannya. Karena itu, otoritas hanya ditempatkan sebagai sumber kedua, yang
berkedudukan sebagai sumber eksternal, sedangkan sumber-sumber internal pada diri
sendiri tetap sebagai sumber pertama.
b. Indra
Indra adalah peralatan pada diri manusia
sebagai salah satu sumber internal pengetahuan. Untuk memahami posisi indra
sebagai sumber pengetahuan biasanya diajukan pertanyaan misalnya, bagaimana
mengetahui bahwa besi memuai bila dipanaskan ? atau air membeku bila
didinginkan hingga mencapai derajat kedinginan tertentu ? Terhadap pengetahuan
semacam itu, filsafat science moderen berpandangan bahwa indra lah yang menjadi
sumbernya.
Bahkan pandangan empirisme yang diterapkan
dalam filafat science moderen menyatakan bahwa pengetahuan pada dasarnya adalah
dan hanyalah pengalaman-pengalaman konkrit kita yang terbentuk karena persepsi
indra, seperti persepsi penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan
pencicipan dengan lidah. Namun dalam menempatkan indra sebagai sumber
penegetahuan, filsafat ilmu sekuler juga menekankan pentingnya kehati-hatian,
utamanya terhadap kemungkinan pengaruh prasangka dan emosi yang akan merusak
obyektifitas.
c. Akal
Dalam kenyataannya ada pengetahuan tertentu
yang bisa dibangun oleh manusia tanpa harus atau tidak bisa mempersepsinya
dengan indera terlebih dahulu. Manusia bisa membangun pengetahuan, misalnya,
dari anggapan dua entitas yang masing-masing sama besarnya dengan entitas
ketiga adalah entitas sama besar. Pengetahuan semacam itu jelas dengan
sendirinya (tanpa persepsi indra) karena ada akal yang memungkinkannya.
Demikian argumentasi yang dibangun para filsuf ilmu sekuler untuk melandasi
pemikiran mereka mengenai akal sebagai sumber pengetahuan. Bertitik tolak dari
kenyataan tersebut, maka filsafat ilmu sekuler menempatkan akal adalah
salah-satu sumber pengetahuan yang mungkin untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.
Pandangan ini merupakan representasi dari pandangan filsafat Rasionalisme, yang
dalam pandangan moderatnya berpendirian bahwa manusia memiliki potensi
mengetahui dengan pasti dengan sendirinya, tentang beberapa hal yang relevan.
Misalnya, kenyataan-kenyataan : keseluruhan adalah lebih besar dari bagian-bagiannya;
satu adalah separuh dari dua; keliling lingkaran lebih besar dari garis
tengahnya; adalah pengetahuan yang dapat diketahui dengan pasti dan dengan
sendirinya karena potensi akal.
d. Intuisi
George Santayana (dalam Titus et al, 1984)
memakai istilah intuisi dalam arti kesadaran tentang data-data yang langsung
dirasakan. Misalnya sewaktu kita mendengar bunyi, maka selain kita mendengar,
kita juga sadar tentang pendengaran kita dan sadar tentang diri kita sebagai
yang mendengar. Jadi menurut Titus, Smith dan Nolan (1984) intuisi terdapat
dalam pengetahuan tentang diri sendiri, kehidupan diri sendiri dan dalam
aksioma matematika. Intuisi ada dalam pemahaman kita tentang hubungan antara
kata-kata (preposition) yang membentuk bermacam-macam langkah dari argumen.
Unsur intuisi adalah dasar dari pengakuan kita terhadap keindahan ukuran moral
yang kita terima dari nilai-nilai agama.
Kesimpulannya adalah, bahwa ilmu bersumber dari
aktifitas optimal yang dilakukan oleh manusia, dengan belajar, memaksimalkan indra,
akal, atau ilmu itu datang secara tiba-tiba, dengan kata lain sumber ilmu
menurut Barat adalah manusia dan alam.
C. Kesalahan
Pandangan Filsafat Barat Tentang Sumber Ilmu[8]
Sebelum dijelaskan lebih lanjut tentang sumber
ilmu menurut filsafat Barat, maka yang terlebih dahulu perlu didefinisikan
adalah, makna Sumber.
Logika sehat kita pasti mengatakan, bahwa yang disebut sumber adalah yang tidak pernah tidak memiliki sesuatu. Ketika kita menimba air di sumur, maka timba tidak bisa dikatakan sebagai sumber air, sumber air itu sendiri adalah sumurnya, sedangkan timba yang kita gunakan hanyalah merupakan alat.
Logika sehat kita pasti mengatakan, bahwa yang disebut sumber adalah yang tidak pernah tidak memiliki sesuatu. Ketika kita menimba air di sumur, maka timba tidak bisa dikatakan sebagai sumber air, sumber air itu sendiri adalah sumurnya, sedangkan timba yang kita gunakan hanyalah merupakan alat.
Filsafat Barat berkesimpulan bahwa sumber ilmu
adalah dari manusia dan alam. Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: Apakah
manusia dan alam menciptakan dirinya sendiri? Apakah manusia dan alam
lahir/tercipta dalam keadaan sudah memiliki ilmu. Logika sehat akan menjawab,
manusia dan alam tidak tercipta dengan sendirinya (ada yang menciptakan), kalau
begitu manusia dan alam pernah tidak memiliki sesuatu kemudian berusaha untuk
memiliki, dalam hal ini ilmu. kalau demikian faktanya maka tidaklah benar
(baca: kesalahan) yang sangat fatal jika kita mengatakan manusia dan alam
adalah sumber ilmu. Disinilah letak kesalahan yang paling mendasar dari teori
filsafat Barat yang memisahkan aktifitas berfikir dengan wahyu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ibn Rusyd memberikan perhatian terhadap
tatanama akal itu, karena dia melihat bahwa akal manusia tidak berada pada satu
tingkatan dalam menyerap sesuatu. Ada akal-akal yang menembus sampai jauh dan
menyentuh benang-benang halus untuk mengikat segala sesuatu. Ada pula akal yang
tidak mencapai tingkatan tersebut karena terikat dan terhenti pada sifat-sifat
yang tampak dan gejala-gejala nyata saja. Menurut pendapatnya di bawah kedua
tingkatan akal tersebut ialah akal yang tidak mengetahui rahasia ikatan-ikatan
yang tersembunyi atau yang tampak, kecuali hanya terhenti pada penerimaan
kata-kata yang diungkap (resonan) dan Filsafat Barat mengandalkan pemikiran
yang lahir dari tradisi rasional dan sekuler Yunani dan Roma. Karena itu Barat
tidak dapat merumuskan visinya mengenai kebenaran dan realitas berdasarkan
pengetahuan yang diwahyukan.
kalimat-kaliinat retorik. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Barat
memandang bahwa filsafat adalah segala upaya (berfikir filsafati) untuk
menemukan kebenaran berdasarkan fikiran atau akal belaka, mereka kemudian
memperjelas pengertiannya dengan mengatakan bahwa kebenaran tersebut dicapai
bukan menggunakan wahyu atau ajaran agama, sebab jawaban berdasarkan wahyu atau
ajaran agama bukan jawaban berdasarkan fikiran atau akal belaka. Karena itu
mereka membedakan antara kebenaran filasafat dengan kebenaran wahyu atau agama.
Kesimpulannya adalah, bahwa ilmu bersumber dari aktifitas optimal yang
dilakukan oleh manusia, dengan belajar, memaksimalkan indra, akal, atau ilmu
itu datang secara tiba-tiba, dengan kata lain sumber ilmu menurut Barat adalah
manusia dan alam.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Hamami M. Filsafat Suatu Pengantar Logika Formal-Filsafat Pengatahuan. Yogyakarta.
1976.
Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di
Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995
Prof
.Dr.K,Bertens. Sejarah filsafat Yunani,Manado,Kanisisus,1999.
Mohammad
hatta, Alam Pikiran Yunani,
Jakarta,Tirtamas,1982.
[1] Abbas Hamami M. Filsafat Suatu Pengantar Logika Formal-Filsafat
Pengatahuan.
(Yogyakarta.
1976), Hal. 52
[2] Prof .Dr.K,Bertens.Sejarah filsafat Yunani,Manado,Kanisisus,1999.hal.
22
[3] Abbas Hamami M. Filsafat Suatu Pengantar Logika Formal-Filsafat
Pengatahuan. (Yogyakarta. Mizan.1976), hal. 61
[4] Mohammad hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta,Tirtamas,1982).
Hal: 37
[7] Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995). Hal: 35
[8] Abbas Hamami M. Filsafat Suatu Pengantar Logika Formal-Filsafat
Pengatahuan. (Yogyakarta 1976). hal 27
komen gan
BalasHapusmakasih gan,atas informasi yang diberikan. Say menjadikannya referensi untuk mata kuliah filsafat saya
BalasHapus