Senin, 15 Juli 2013

PAKAIAN MODIS MUSLIMAH by gussableng


Berbicara tentang pakaian perempuan dilihat dari perspektif keindahan pastilah sangat menarik sampai kapanpun, data membuktikan berapa milyard dolar dana disediakan untuk industri ini. Yang lebih menggelitik untuk ditulis ketika wacana agama ingin mempersempit ruang kreatifitas perancang mode pakaian dengan doktrin tentang wilayah tubuh yang boleh dan tidak boleh dibuka bagi seorang muslimah dengan ancaman neraka bagi yang melanggarnya.
Al-qur’an yang diimani muslim sebagai sumber kebenaran mutlak (walau hampir dipastikan tak ada yang qath’i) tak satupun ayat yang berbicara tentang batasan AURAT ( wilayah tubuh yang harus ditutup), bahkan ketika disebut dalam surat an-nur terkesan yang dimaksud adalah wilayah tubuh privecy perempuan. Barangkali pada dasarnya soal tutup menutup aurat merupakan keniscayaan dan hak preogatif manusia  (urusan dunia, bagian dari seni keindahan berpakain yang tak efektif bila dibakukan dengan ketentuan hukum). Bisakah anda membayangkan bagaimana wujud pakaian perempuan ketika belum ditemukan bahan pakaian?, pastilah hanya wilayah tubuh tertentu saja yang ditutup. Belajar dari realitas itu, Rasullah saw ketika melihat budaya arab yang mengaharuskan perempuan menutup seluruh tubuhnya (bercadar) memerintahkan untuk membuka wajah dan telapak tangannya, karena paling tidak wajah dan telapak tangan bisa mewakili identitas diri seseorang secara minimal/standar, utamanya dalam kaitannya dengan pergaulan antar sesama manusia.
Lebih menarik lagi justru al-qur’an menyebut pakaian dengan tiga sebutan “libas, tsiyab, dan sarabil” dan dalam uraiannya, ketiga istilah  pakaian tersebut tak ada hubungannya dengan perintah menutup aurat, karena menutup aurat itu bagi penulis dipandang sebagai sebuah keniscayaan bagi manusia sejak dari Adam sampai di era Yulia Peres. Libas digunakan sebagai istilah pakaian dalam arti “pakaian lahir dan batin” disebut sebagai penutup tubuh agar makin indah dan bermartabat serta secara batiniyah ditegaskan  dalam surat al-a’raf ayat 26 disebut “libaasuttaqwa”, sedang tsiyab lebih dimaknai oleh penulis sebagai “pakaian metafor” yang dipenuhi dengan nuansa kebahagian dan kesedihan akhirat, identitas diri yang berhubungan dengan status manusia dihadirat Tuhannya, sementara istilah sarabil lebih dimaknai sebagai pakaian profesi (khusus) semisal pakaian tentara untuk perang dll.(dalam perspektif sekarang bisa disebut, pakaian olah raga, kelengkapan pakaian pengendara motor, dan masih banyak lagi) intinya berfungsi melindungi tubuh dari kemungkinan-kemungkinan yang membahayakan keselamatan jiwa raga dari perspektif profesi tersebut.
Budaya Jilbab
Megapa al-qur’an menyinggung budaya jilbab dalam surat al-ahzab ayat 59?, karena tema yang diusung adalah soal adab sopan santun dalam keluarga Rasulullah. Makanya ayat tersebut khusus ditujukan kepada Rasulullah, dan keluarganya serta orang-orang mukmin ketika itu, yang tentunya secara faktual bisa berinteraksi langsung dengan keluarga Rasulullah. Ayat itu tak layak diberlakukan bagi mukmin sekarang yang sudah mengglobal yang terdiri dari berbagai suku dan bangsa dengan budaya warna warninya. Bagaimana mungkin sebuah budaya lama dipaksakan untuk diberlakukan buat suku atau bangsa yang lebih berbudaya?  Maka mengkaitkan ayat diatas dengan kewajiban memakai jilbab bagi semua muslimah di zaman yang multikulturalisme itu adalah ajakan yang sia-sia, dan hanya menambah beban psikologis bagi kebanyakan kaum muslimah, kecuali tentunya orang yang bebal otaknya.
Pada menjelang ujung  ayat diatas dijelaskan dengan tepat “dzalika adna an yu’rafna” artinya, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal. Jelas ini menyangkut identitas (dalam hal ini sebagai pengikut Nabi) ketika itu harus berbeda identitasnya dengan pengikut kafir quraisy. Cuman kalau identitas yang sangat simbolis itu diusung kembali untuk zaman sekarang apalagi dengan memakai ancaman masuk neraka,  apa tidak naif itu? Yang jelas saya sebagai bangsa Indonesia  tersinggung, sepertinya budaya kita lebih buruk dari budaya mereka. Padahal budaya bangsa Indonesia ini tak pernah disebut al-qur’an sebagai bangsa yang “asyaddul kufra wa nifaq”?
Tentang surat an-Nur ayat 31
Sebenarnya surat an-nur ayat 31 ini merupakan penjelasan lebih rinci sekaligus umpan balik dari ayat sebelumnya (ayat 30) yang temanya menyangkut pedoman umum pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, menyangkut didalamnya: menahan pandangan mata (lirikan nakal kali ye), memelihara/menjaga  kemaluannya dari fakhisyah (kejahatan seksual), dan khusus perempuan tidak menampakkan perhiasannya (simpul-simpul seksualnya), kecuali yang biasa nampak dari padanya. karena yang demikian itu dipandangnya sebagai lebih suci dan terhormatlah. Jadi ayat ini juga tidak dalam konteks kewajiban memakai jilbab. Kalaupun didalamnya menyinggung tentang “auratun nisa’” yang dalam penjelasan ayat dikaitkan dengan anak kecil yang belum mengerti tentang aurat perempuan (wilayah khusus  simpul-simpul seks) justru menjadi bukti bahwa ayat ini tidak relevan dijadikan dasar pijakan perempuan wajib memakai jilbab. Yang penting seorang muslimah itu mampu menjaga dan memelihara kehormatannya dengan menggunakan pakaian yang menutupi simpul-simpul seks-nya dengan desain yang indah dan tidak fulgar.
Simpulan yang dapat diambil dari bahasan diatas adalah bahwa seyogyanya pakaian muslimah itu harus mengadung dimensi keindahan karena pada hakekatnya perempuan itu simbul keindahan, selanjutnya mampu mewujudkan identitas diri yang plural artinya mampu menyesuaikan dengan budaya setempat, juga budaya global, dan yang lebih penting lagi mampu membentengi citra Islam sebagai rahmatan lil alamin. Simpulan diatas sudah terbukti secara historis, berapa persen sih muslimah  yang menggunakan jilbab? Kalau kita boleh berandai-andai, kali ada katakanlah duapuluh persen misalnya dari seluruh populasi muslimah dunia, maka sebenarnya yang setia seratus persen dengan kreteria para Ulama penganjur jilbab  tak ada separuhnya, mayoritas dari pemakai jilbab (terutama di Indonesia) sudah terkontaminasi baik dari lahirnya apalagi dari segi esensinya. Jadi perjuangan para Ulama peganjur jilbab itu bisa dikatakan mendekati sia-sia, karena mengabaikan prinsip keberagaman, kesantunan dan kemudahan dalam beragama.

1 komentar:

http://www.facebook.com/theicol