Dakwah islam dalam
perspektif kesehatan dan keadilan gender
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“filsafat Dakwah”
DI
SUSUN OLEH :
KELOMPOK: 19
KELAS:
E2
FAISOL HUDA B74210076
IRFAN ANSORI B74210075
Dosen
Pembimbing
Drs. H.
Hasan Bisri WD., M.Ag
FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN MENEJEMEN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012
KATA PENGANTAR
ASSALAMUALAIKUM WARAHMATULLOHI
WABAROKATUH
Puji syukur alhamdulillah kehadirot Alloh SWT . yang telah memberikan
kekuatan dan kemampuan pada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan
judul
“ Dakwah islam dalam perspektif kesehatan dan keadilan gender
Ucapan terimakasih kepada Bapak Drs. H. Hasan Bisri
WD., M.Ag
selaku dosen pembimbing.
kami
sebagai manusia biasa yang tak luput
dari kekhilafan, kami mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam pembuatan makalah ini.
Saran dan kritik dari pembaca yang
bersifat membangun sangat kami harapkan agar dalam pembuatan makalah berikutnya
dapat lebih baik lagi.
Akhirnya semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kami khususnya bagi pembaca pada umumnya.Amin.
Wassalamualaikum warahmatullohi wabarokatuh.
Surabaya, 03 Januari 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR
ISI .......................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ............................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH............................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN
- Hakekat Keadilan dan Kesetaraan dalam Islam............................... 2
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN ...................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Membicarakan keadilan dan
kesetaraan (gender issues) di dalam Hukum Islam tidak
bisa kita lepaskan dari tuntunan Al Qur`an dan Hadist sebagai sumber pokok dari Hukum
Islam. Hal ini perlu kita pelajari dengan baik dan benar supaya kita tidak
tersesat dalam menafsirkan keadilan dan kesetaraan antara kedudukan
laki-laki dan perempuan dalam kenyataan kehidupan sehari-hari menurut Hukum Islam.
Memang untuk memahami konsep keadilan dan kesetaraan gender diperlukan
pemahaman yang benar, mengingat dalam kenyataan hidup sehari-hari banyak fakta
yang menunjukkan bahwa konsep tersebut belum atau bahkan tidak dilaksanakan sesuai
dengan ajaran-ajaran agama Islam yang bersumberkan pada Al Qur`an
dan Hadist yang diriwayatkan oleh perawinya dengan benar. Bahkan
terkait dengan keadilan dan kesetaraan gender ini, seringkali kita dapati
pula bahwa dalam kenyataan kehidupan masyarakat muslim ada hadist-hadist
yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahkan malahan bertentangan
dengan Al-Qur’an. Setiap muslim seharusnya memahami hukum
Islam, karena aktivitas hidup sehari-hari orang muslim tidak bisa terlepas dari permasalahan
hukum Islam, baik ketika ia beribadah kepada Allah.
Melakukan hubungan sosial
antar manusia (muamalah) termasuk relasi kesetaraan gender antara
laki-laki dan perempuan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Akan tetapi permasalahan
yang muncul, tidak sedikit kaum muslimin yang belum memahami, bahkan sama
sekali tidak memahami hukum Islam terkait dengan
kesetaraan gender, sehingga aktivitas kesehariaannya terkait dengan keadilan dan kesetaraan
gender banyak yang belum sesuai atau bahkan bertentangan dengan hukum Islam.
B.
Rumusan Masalah
A. Seperti apa Hakekat Keadilan dan
Kesetaraan dalam Islam itu ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hakekat Keadilan dan Kesetaraan dalam Islam.
Hakekat keadilan dan
kesetaraan gender memang tidak bisa dilepaskan dari konteks
yang selama ini dipahami oleh masyarakat tentang peranan dan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam realitas sosial mereka. Masyarakat
belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi/bangunan
budaya tentang peran, fungsi dan tanggung jawab sosial antara
laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan
peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki
dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang
menguntungkan dibandingkan laki-laki. Faktor utama penyebab kesenjangan gender
adalah tata nilai sosial budaya masyarakat, pada umumnya lebih mengutamakan laki-laki
dari pada perempuan (budaya patriarki). Disamping itu,
penafsiran ajaran agama yang kurang menyeluruh atau cenderung dipahami menurut
teks/tulisan kurang memahami realitas/kenyataan, cenderung dipahami secara
sepotong-sepotong kurang menyeluruh. Sementara itu, kemampuan, kemauan dan kesiapan
kaum perempuan sendiri untuk merubah keadaan tidak secara nyata dilaksanakan.
Kesetaraan gender mempunyai arti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-hak yang sama
sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai
kegiatan seperti : politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan
lain sebagainya. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan
diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun
perempuan. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, dan
kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Tidak adanya diskriminasi
antara perempuan dan laki-laki menjadi tanda terwujudnya kesetaran dan keadilan gender,
dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas
pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Prof. Dr.
Nasaruddin Umar, mengemukakan ada beberapa ukuran yang dapat digunakan
sebagai pedoman dalam melihat prinsip-prinsip kesetaraan jender
dalam Al- Qur'an. Ukuran-ukuran tersebut antara lain sebagai berikut: [1]
1.
Laki-laki dan Perempuan Sama-sama sebagai Hamba
Salah satu tujuan
penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan (QS.
Az-Dzariyat/51:56). Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk
menjadi hamba ideal, yaitu dalam Al-Qur'an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa, dan untuk mencapai derajat
bertaqwa ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau
kelompok etnis tertentu. Dalam kapasitas sebagai hamba,
laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari
Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya (Q.S. al-Nahl/16:97).
2.
Laki-laki
dan Perempuan sebagai Khalifah di Bumi
Maksud dan tujuan penciptaan
manusia di muka bumi, selain untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah
swt, juga untuk menjadi khalifah di bumi (QS. Al An'am/6:165). Kata Khalifah tidak menunjuk kepada salah satu jenis
kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang
sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya
di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.
3. Laki-laki dan Perempuan Menerima
Perjanjian Primordial
Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan
menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui,
menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih
dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya (QS. Al-A’raf/7:172).
Tidak ada seorangpun anak manusia lahir di muka bumi yang tidak berikrar
akan keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka disaksikan oleh para malaikat. Tidak ada
seorangpun yang mengatakan "tidak". Dalam Islam, tanggung jawab
individual dan kemandirian berlangsung sejak dini, yaitu sejak dalam
kandungan. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya
diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama
menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Rasa percaya diri seorang
perempuan dalam Islam seharusnya terbentuk sejak lahir, karena sejak awal tidak pernah
diberikan beban khusus berupa "dosa warisan" seperti yang dikesankan
di dalam tradisi Yahudi-Kristen, yang memberikan citra negatif
begitu seseorang lahir sebagai perempuan. Dalam tradisi ini, perempuan
selalu dihubungkan dengan drama kosmis, di mana Hawa dianggap terlibat di dalam kasus keluarnya Adam dari
surga. Al-Qur'an yang mempunyai pandangan positif terhadap manusia, Al-Qur'an
menegaskan bahwa Allah memuliakan
seluruh anak cucu Adam (Q.S. Al-Isra/17:70). Dalam Al-Qur'an, tidak pernah ditemukan
satupun ayat yang menunjukan keutamaan seseorang karena factor jenis
kelamin atau karena keturunan suku bangsa tertentu.
4.
Adam
dan Hawa, Terlibat secara Aktif dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan
Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua
belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang yakni kata
ganti untuk Adam dan Hawa, seperti dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut
ini: Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Q.S.
Al-Baqarah/2:35); Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari syaitan
(Q.S. Al-A'raf/7:20); Samasama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat
jatuh ke bumi (Q.S. al- A'raf/7:22); Sama-sama memohon ampun dan sama-sama
diampuni Tuhan (Q.S. Al- A'raf/7:23); Sama-sama memohon ampun dan sama-sama
diampuni Tuhan (Q.S. Al- A'raf/7:23); Setelah di bumi, keduanya mengembangkan
keturunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan (Q.S. Al-Baqarah/2:187).
Adam dan Hawa disebutkan secara
bersama-sama sebagai pelaku dan bertanggung jawab terhadap drama kosmis
tersebut. Jadi, tidak dapat dibenarkan jika ada anggapan yang menyatakan perempuan
sebagai mahluk penggoda yang menjadi penyebab jatuhnya anak manusia ke bumi
penderitaan.
5.
Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Berpotensi Meraih
Prestasi
Dalam hal peluang untuk meraih prestasi maksimum, tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana ditegaskan secara khusus di dalam
tiga ayat Al- Qur'an (Q.S. Ali Imran/3:195, Q.S. An-Nisa/4:124 dan Q.S.
Mu’min/40:40). Ayat-ayat ini
mengisyaratkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa
prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier
profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja.
Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal.
Namun, dalam kenyataan di masyarakat, konsep ideal ini masih membutuhkan tahapan
dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya
yang sulit diselesaikan. Salah satu obsesi Al-Qur'an ialah terwujudnya
keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam Al-Qur'an mencakup
segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat. Karena itu, Al-Qur'an tidak mentolerir segala bentuk
penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa dan kepercayaan,
maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil pemahaman
atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan,
maka hasil pemahaman dan penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan. Dengan melihat paparan
yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar tersebut di atas, terlihat bahwa di dalam Al-Qur’an,
sebetulnya sudah menyebutkan adanya keadilan dan kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan di dalam Islam. Namun di dalam kenyataan sehari-hari keadilan dan kesetaraan
gender seperti yang diamanahkan di dalam Al-Qur’an
tersebut bias dikatakan masih jauh dari harapan, termasuk pelaksanaan yang terjadi di dunia yang mayoritas
warganya beragama Islam. Contoh kasus tentang dominasi
laki-laki terhadap perempuan, sebagaimana dikutip oleh Khaled Abaou (Seorang Profesor/dosen Hukum Islam) pada sekitar pertengahan Maret 2002 koran Arab
Saudi memberitakan sebuah insiden yang terjadi di Mekkah, tempat kelahiran Nabi Muhammad. Menurut laporan resmi minimal empat belas gadis muda
terbakar hingga mati atau sesak napas terkena asap ketika sebuah kecelakaan
kebakaran melanda sekolah negeri mereka. Orangtua-orangtua siswa yang mendatangi
kejadian itu menggambarkan sebuah situasi yang mengerikan: pintu-pintu sekolah
semuanya terkunci dari luar, dan polisi agama Saudi secara paksa mencegah gadis-gadis
itu supaya tidak lari dari dalam sekolah yang terbakar serta menghalangi petugas
pemadam kebakaran yang hendak memasuki gedung sekolah guna menyelamatkan
gadis-gadis itu. Menurut pengakuan para orangtua siswa, petugas kebakaran,
pasukan pertahanan sipil yang bertugas di lokasi kejadian, polisi agama itu tidak
mengizinkan gadis-gadis untuk lari atau diselamatkan karena “mereka tidak tertutupi
dengan baik”, karena gadis-gadis itu
melepaskan cadar yang menutupi wajah mereka, atau ‘abaya, selendang mirip jubah yang membungkus tubuh mereka.
Polisi-polisi agama tidak ingin terjadi kontak fisik antara gadis-gadis
itu dengan pasukan pertahanan sipil lantara takut munculnya gairah seksual,
yang mungkin terjadi di tengah kemelut. Kisah tragis memilukan ini menguakkan begitu
banyak hal. Tidak ada katakata yang bisa menggambarkan kebejatan yang menjijikkan secara
moral dari insiden ini. Insiden yang memuakkan secara moral ini mencerminkan
suatu sikap emotif yang mengorbankan teologi, hukum, dan logika. Hal ini
dikarenakan jika ketiganya dipakai, akan membuahkan sikap yang dapat menyelamatkan gadis-gadis
itu. Di dalam Islam dinyatakan bahwa nyawa manusia dipandang suci, Al’quran dengan
terang menyatakan bahwa siapapun yang membunuh satu orang,
maka seolah-olah ia membunuh seluruh manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Seperti apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr.
Nasaruddin Umar tersebut di atas, bahwa di dalam Al-Qur’an,
sebetulnya sudah menyebutkan adanya keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di dalam Islam.
Namun demikian terkait dengan hadist-hadist Nabi, ada
hadist-hadist yang derajat kebenarannya masih diragukan, apakah hadist tersebut lemah (dha’if)
atau baik (gharib), apakah hadis tersebut adalah hadis ahad (hadis yang perawinya tunggal), ataukah
hadist tawatir (hadis yang diriwayatkan oleh
bebrapa perawi/periwayatannya melalui berbagai rantai periwayatan), yang isinya merendahkan kaum perempuan yang
tidak menggambarkan adanya kesetaraan gender. Contoh hadist yang perlu dicermati
berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan gender tersebut : hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah yang menyatakan bahwa Nabi pernah bersabda “Jika seorang suami mengajak
isterinya ketempat tidur, kemudian ia menolaknya maka para
malaikat akan melaknatnya hingga terbit fajar”. Kalau kita tafsirkan secara
tekstual, hadis tersebut akan sangat merugikan perempuan yang berarti tidak ada kesetaraan gender dalam
hadis ini, termasuk hadis riwayat Abu Hurayrah yang lain, yang menyatakan bahwa Nabi pernah bersabda bahwa
“Seseorang tidak dibenarkan untuk sujud kepada
siapapun.tapi sekiranya saya harus menyuruh sesorang untuk bersujud kepada seseorang lainnya, saya akan menyuruh
seorang isteri bersujud kepada suaminya, karena begitu
besarnya hak suami terhadap isterinya”. Kita
perlu berhati-hati dalam menafsirkan hadis-hadis seperti ini, karena kalau
kita artikan secara tekstual akan sangat bertentangan dengan Al-qur’an yang di dalamnya tidak
mengajarkan hal-hal seperti itu. Di samping itu hadist-hadist tersebut tidak selaras dengan
ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kehidupan pernikahan. Al-Qur’an,
dalam S. al-Rum ayat 21 menyebutkan : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya,
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang”. Dalam S. Al-Baqarah ayat 2, juga dinyatakan bahwa pasangan suami-isteri sebagai
pakaian satu sama lain. Di samping itu, hadist-hadist tersebut juga tidak sejalan
dengan keseluruhan riwayat yang menggambarkan perilaku Nabi terhadap para isterinya, Namun
demikian keadilan dan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam
Al-Qur’an dengan tegas diilustrasikan bahwa perubahan sosial terjadi manakala
mereka yang mempunyai hak (kaum perempuan) menuntutnya, karena untuk mencapai
keadilan haruslah ada ikhtiar tak kenal lelah untuk meraih keseimbangan yang lebih autentik
antara kewajiban dan hak di dalam hidup kaum perempuan dengan pemberdayaan yang
dilakukan oleh kaum perempuan sendiri, bersama-sama dengan kaum laki-laki
sebagaimana dikemukakan dalam Al’Quran bahwa laki-laki dan perempuan saling
membantu dan mendukung satu sama lain dalam menyerukan kebaikan dan mencegah
kemungkaran sesuai dengan perkembangan situasi dan zaman yang digambarkan sebuah
perkembangan yang baik, untuk ukuran jaman dan tempat di mana mereka berada.
FUTNOT
[1] Prof.
Dr. Nazarudin Umar “Prinsip-Prinsip Keadilan Gender dalam Al-Qur’an”
DAFTAR PUSTAKA
Bisri Hasan,2010.filsafat
Dakwah.Surabaya:Dakwah Digital Press.
Khaled Abou El Fadl, 2005, The Great Theft :
Wrestling Islam from the Extremis, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Selamatkan
Islam dariMuslim Puritan”, oleh Helmi Mustofa, Jakarta; Serambi Ilmu
Semesta
.
Khaled Abou El Fadl, 2003, Speaking in God’s
Name, yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia “Atas nama Tuhan”, oleh R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta; Serambi Ilmu Semesta.
Tepas Ahmad Heryawan, Hakekat Kesetaraan dan Keadilan Gender,
yang dimuat
dalam file:///C:/Users/HPPavilion/Documents/2722-hakikat-kesetaraandan-keadilan-gender.html, diunduh dari
internet tanggal 01 Januari 2012; Prof. Dr. Nazarudin Umar “Prinsip-Prinsip Keadilan Gender dalam
Al-Qur’an”, yang dimuat dalam file:///C:/Users/H HPPavilion/Downloads/download
keadilan dan kesetaraan gender/prinsip-prinsipkesetaraan gender.htm, diunduh
dari internet tanggal 01 Januari 2012
uuupps
BalasHapus